“Buku
cerita itu hanya bohong kok..,” kata sang kakak.
Adiknya
terus murung. Ada pelangi sore itu, teringat di buku cerita itu bahwa ada teman
di balik pelangi.
“Aku
ingin pergi ke sana..,” kata sang adik.
“Baca
akhir cerita itu, bukannya sebenarnya tak ada teman dibalik pelangi..,”
kakaknya mulai sebal. Dari seminggu yang lalu adiknya selalu berkata, jika ada
pelangi aku ingin pergi kesana. Mungkin disana ada teman.
Kakak
beradik itu tinggal bersama Ibunya dan pembantu-pembantunya. Rumahnya besar.
Rumah yang terlalu besar untuk mereka bertiga. Sang ibu adalah pejabat sebuah
Bank ternama.
Kakaknya
sudah SMA. Dia sangat tampan dan pintar. Rapi dan sangat bersih. Di sekolah dia
sangat disegani. Selain nilainya bagus, dia juga terpilih sebagai ketua OSIS.
Kekurangannya mungkin karena dia kadang terlalu congkak. Beberapa kali dia
berdebat dengan teman-temannya karena kecongkakannya itu. Bahkan banyak juga
yang berusaha menggulingkan dia dari ketua OSIS. Hidupnya tak nyaman di
sekolah. Teman-teman didekatnya tak bisa dipercayai sepenuhnya. Pulang ke
rumah, malah bertemu sang adik yang menurutnya sedikit aneh. Pendiam, murung,
dan berkhayal kesana kemari.
Adiknya,
kelas 3 SD, home schooling. Dia tidak pergi ke sekolah formal karena
kondisinya. Kakinya tak mampu berjalan sejak lahir. Saat sang ibu mengandung,
sang ayah meninggalkan mereka. Ehm bukan meninggalkan, tapi diusir. Sang ibu
melihat ayahnya bersama wanita lain. Karena punya harga diri dan harta, tak
segan-seganlah sang ibu mengusir ayahnya yang aslinya tak punya apa-apa itu.
Adiknya
menjalankan kursi roda elektroniknya ke arah kamarnya. Sang kakak sibuk
bermain-main dengan hamster kesayangannya. Mame, namanya. Hamster imut, lucu,
yang diberikan seorang temannya waktu SMP. Teman karibnya itu sekarang sudah
tinggal jauh di Australia. Mereka sudah jarang lagi berkomunikasi. Paling lewat
jejaring sosial.
Malam
datang. Sang ibu belum juga menampakkan diri di rumah.
“Aden
makan malamnya sudah siap..,” seorang pembantu berumur membungkkan badannya di
hadapan seorang anak yang sibuk mengetik di laptopnya.
Anak
itu menoleh sejenak, lalu melanjutkan mengetik.
“Non
Rima sudah menunggu di ruang makan…,”
lanjut sang pembantu.
Akhirnya
Rindra, anak laki-laki itu mengalah. Mematikan laptopnya dan pergi ke ruang
makan.
Rindra
memulai mengambil sesendok nasi dicampur dengan sayur sop. Rasanya enak seperti
biasa, pembantunya itu memang pandai memasak.
“Jangan
sisakan makananmu lagi…,” kata Rindra.
Sang
adik menatap makanannya dengan malas. Aku harus menghabiskannya, tiba-tiba
kata-kata kakaknya menjadi motivasi untuk menghabiskan makanan didepannya.
Sebelum
mereka selesai makan, seseorang datang. Dengan badan lelah dan setumpuk beban
di kepalanya.
“Assalamualaikum..,”
sang ibu tersenyum sambil mengucap salam.
Rindra
dan Rima membalas salam ibunya dengan semangat. Mereka tahu ibunya itu bekerja
keras untuk mereka.
“Ibu
gak makan sama kami…,” tanya Rima seperti memohon.
“Iya..iya..
ibu ganti baju dulu..,” kata sang ibu.
Rindra
meneruskan makannya. Rima berhenti menunggu sang ibu.
“Aku
duluan, bilang ke ibu aku mau mengerjakan PR,” Rindra beranjak dari ruang
makan.
Siang
itu cerah. Ada bulatan kuning yang memancarkan sinar. Rima sudah menyelesaikan
kegiatan home schoolingnya. Di atas pahanya ada perlengkapan menggambar.
Pensil, kertas gambar A4, karet penghapus, dan sebuah alas dari kayu. Sang
pembantu membantunya untuk naik ke lantau dua,
ia ingin menggambar pemandangan dari atas.
Kegiatan
menggambar memang sangat disukainya. Menggambar pemandangan salah satu yang
sering ia lakukan. Pemandangan taman, pemandangan gunung, pemandangan hutan,
pemandangan jalan, dan sebagainya. Kali ini dia ingin mengambar pemandangan
kota dan pelangi. Ya, dia masih teringat pada buku cerita itu. Buku cerita yang
menyebutkan ada teman dibalik pelangi.
Digambarnya
menggunakan pensil. Hati-hati sekali, Rima tipe yang tidak sering menghapus
goresannya. Gambarnya lumayan bagus untuk anak seumurannya.
Sejam,
dua jam…lama sekali Rima menggambar pemandangan kota dan pelangi itu.
Digambarnya sedetil-detilnya. Rumah-rumah penduduk, gedung-gedung pemerintah,
dan kabel-kabel listrik tak luput dari pengamatannya. Siang itu tak ada
pelangi. Namun, Rima tetap akan menggambarnya. Ia ingat betul kemarin sore,
saat hujan mulai reda ada pelangi besar disana. Ya disana, menggantung indah di
angkasa.
“Ehem..anak
ibu sedang menggambar apa?,” tiba-tiba sang ibu sudah ada dibelakang Rima.
“Ah..ibu
tumben sudah pulang..,” tanya Rima.
“Ya,
ibu mau mengajakmu ke suatu tempat…”
“Kemana
bu..,” tanya Rima antusias.
“Ke
sekolah..ibu mau mendaftarkanmu ke sekolah..,” kata sang Ibu.
Hari
itu rasanya pelangi sudah dekat sekali. Rima tersenyum lagi, tersenyum
membayangkan esok hari akan bertemu banyak teman.
Sekolah
yang ia kunjungi tadi tidak begitu besar. Tapi sungguh modern. Rima melihat
anak-anak seumurannya belajar di dalam kelas. Ternyata mereka pulang agak sore.
Ibunya sudah menjelaskan pada Rima kalau jam belajar di sekolah tidak sama
seperti home schooling.
“Besok
lusa aku akan bertemu banyak teman kak..,” kata Rima pada kakaknya.
“Iya…,”
Rindra sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Nanti malam ia harus mengurus acara
Mapensi di sekolahnya. Rindra ikut senang akhirnya ibunya berinisiatif
mengusahakan agar sekolah itu bisa menerima Rima, walaupun harus membayar lebih
pada sang kepala sekolah. Setidaknya adiknya tidak akan kesepian lagi di rumah.
“Belajarlah
yang rajin, jangan mau kalah dengan teman-temanmu nanti..,” kata Rindra
menasehati.
“Iya
kak…aku akan belajar yang rajin.,” kata Rima. Rima lalu kembali ke kamarnya.
Dia memeriksa baju seragam yang baru saja ia peroleh. Betapa bagusnya seragam
itu. Berwarna biru muda dengan rok biru tua bermotif kotak-kotak.
Hari
itu tiba, hari saat Rima memakai seragam biru muda itu. Melukis senyuman di
wajah dan menggambarkan pelangi besar di atas kepalanya.
Kelasnya
lumayan luas, sebagian besar tembok tak terlihat tertutup berbagai benda yang
dipajang. Ada papan absen, karton-karton berisi lukisan-lukisan siswa, gambar
organ tubuh, gambar-gambar dengan keterangan bahasa inggris dan tak lupa ada
gambar presiden dan wakilnya terpajang diatas papan tulis.
Rima,
dengan kursi rodanya memasuki kelas. Masih sepi.
Ada
sekitar dua puluh pasang kursi-meja. Hmm.. berarti aku akan memiliki sekitar 20
orang teman. Banyak!, kata Rima dalam hati.
“Tap..tap,”
suara sepatu berjalan terdengar. Rima, menoleh. Ada seorang anak seumuran dia,
perempuan.
Dia
tersenyum, melangkah menghampiri Rima.
“Kamu
anak baru itu ya?,” tanya anak itu.
“Iya..kenalkan
aku Rima…,” Rima tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
“Aku
Sarah.,” kata anak itu. Rima senang sekali. Sarah adalah teman pertamanya di
sekolah ini.
Rima
sangat gembira bisa bersekolah dan memiliki banyak teman. Sarah, ya dia salah
satu teman terdekatnya. Di kelas mereka selalu duduk berdekatan, saat istirahat
mereka juga bersama-sama. Pergi ke perpus juga, tak segan-segan Sarah membantu
Rima untuk mengambilkan buku yang letaknya diatas.
Hari
itu Rima mengajak Sarah pergi ke rumahnya. Sarah terlihat sangat senang sekali.
Rumah Rima memang lebih luas dan lebih bagus dari milik Sarah.
“Wah…bagus
sekali…,” kata Sarah. Diperhatikannya barang-barang mewah di rumah Rima. Rima
menyediakan makanan yang enak setiap kali Sarah ke rumahnya. Sarah jadi betah
dan sering belajar di rumah Rima.
Suatu
hari.
“Bibi…mana
buku ceritaku..,” Rima mendorong kursi rodanya ke dapur. Di sana ada seorang
pembantu yang sedang memasak.
“Buku
yang mana..?,” tanya sang pembantu sambil menghentikan kegiatan memasaknya.
“Buku
cerita Toby!, buku kesayanganku…,” kata Rima.
Malam
itu Rima ribut sendiri, mencari buku kesayangannya ke sana kemari.
“Apa
tak dipinjam temanmu itu?,” tanya Rindra, sang kakak.
“Siapa?Sarah..dia
tidak bilang apa-apa kok.. mana mungkin dia mengambilnya tanpa seijinku,” kata
Rima.
Rima
tak bisa tidur, ia terus memikirkan buku ceritanya yang hilang itu. Apa Sarah
yang mengambilnya? Tapi mana mungkin dia sejahat itu.
Keesokan
harinya.
Sarah
terlihat membawa sebuah buku. Buku yang tak asing buat Rima.
“Pagi
Rima, eh ini bukumu mau kukembalikan.,” Sarah menyodorkan buku cerita
kesayangan Rima.
“Oh..jadi
kamu yang mengambilnya, kok kamu gak bilang-bilang sih…!!,” Rima berteriak
marah. Sarah kaget, dia tidak tahu Rima akan marah seperti itu.
Seharian itu mereka tidak berbicara. Sarah sudah mencoba meminta maaf tapi Rima
tak mau mendengarkan.
Rima
termenung. Melihat langit dari lantai dua rumahnya. Buku Toby ada di
pangkuannya. Tak ada pelangi di langit, yang ada hujan gerimis rintik-rintik.
“Teman
itu memang begitu… jangan terlalu berharap mereka sesuai dengan yang kita
inginkan, mereka punya mimpi yang tak selalu sama dengan kita...,” kakaknya
berkata, beriring dengan gerimis yang berubah menjadi hujan.
“Tapi
apakah kalian sudah tidak butuh teman lagi …pelangi tak selalu datang setelah
hujan, jaga teman-teman yang kalian punya,” Ibunya datang meredam suara hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar