Rabu, 02 Januari 2013

CERPEN : ADA TEMAN DI BALIK PELANGI


“Buku cerita itu hanya bohong kok..,” kata sang kakak.
Adiknya terus murung. Ada pelangi sore itu, teringat di buku cerita itu bahwa ada teman di balik pelangi.
“Aku ingin pergi ke sana..,” kata sang adik.
“Baca akhir cerita itu, bukannya sebenarnya tak ada teman dibalik pelangi..,” kakaknya mulai sebal. Dari seminggu yang lalu adiknya selalu berkata, jika ada pelangi aku ingin pergi kesana. Mungkin disana ada teman.

Kakak beradik itu tinggal bersama Ibunya dan pembantu-pembantunya. Rumahnya besar. Rumah yang terlalu besar untuk mereka bertiga. Sang ibu adalah pejabat sebuah Bank ternama.
Kakaknya sudah SMA. Dia sangat tampan dan pintar. Rapi dan sangat bersih. Di sekolah dia sangat disegani. Selain nilainya bagus, dia juga terpilih sebagai ketua OSIS. Kekurangannya mungkin karena dia kadang terlalu congkak. Beberapa kali dia berdebat dengan teman-temannya karena kecongkakannya itu. Bahkan banyak juga yang berusaha menggulingkan dia dari ketua OSIS. Hidupnya tak nyaman di sekolah. Teman-teman didekatnya tak bisa dipercayai sepenuhnya. Pulang ke rumah, malah bertemu sang adik yang menurutnya sedikit aneh. Pendiam, murung, dan berkhayal kesana kemari.
Adiknya, kelas 3 SD, home schooling. Dia tidak pergi ke sekolah formal karena kondisinya. Kakinya tak mampu berjalan sejak lahir. Saat sang ibu mengandung, sang ayah meninggalkan mereka. Ehm bukan meninggalkan, tapi diusir. Sang ibu melihat ayahnya bersama wanita lain. Karena punya harga diri dan harta, tak segan-seganlah sang ibu mengusir ayahnya yang aslinya tak punya apa-apa itu.
Adiknya menjalankan kursi roda elektroniknya ke arah kamarnya. Sang kakak sibuk bermain-main dengan hamster kesayangannya. Mame, namanya. Hamster imut, lucu, yang diberikan seorang temannya waktu SMP. Teman karibnya itu sekarang sudah tinggal jauh di Australia. Mereka sudah jarang lagi berkomunikasi. Paling lewat jejaring sosial.
Malam datang. Sang ibu belum juga menampakkan diri di rumah.
“Aden makan malamnya sudah siap..,” seorang pembantu berumur membungkkan badannya di hadapan seorang anak yang sibuk mengetik di laptopnya.
Anak itu menoleh sejenak, lalu melanjutkan mengetik.
“Non Rima sudah menunggu di ruang makan…,”  lanjut sang pembantu.
Akhirnya Rindra, anak laki-laki itu mengalah. Mematikan laptopnya dan pergi ke ruang makan.
Rindra memulai mengambil sesendok nasi dicampur dengan sayur sop. Rasanya enak seperti biasa, pembantunya itu memang pandai memasak.
“Jangan sisakan makananmu lagi…,” kata Rindra.
Sang adik menatap makanannya dengan malas. Aku harus menghabiskannya, tiba-tiba kata-kata kakaknya menjadi motivasi untuk menghabiskan makanan didepannya.
Sebelum mereka selesai makan, seseorang datang. Dengan badan lelah dan setumpuk beban di kepalanya.
“Assalamualaikum..,” sang ibu tersenyum sambil mengucap salam.
Rindra dan Rima membalas salam ibunya dengan semangat. Mereka tahu ibunya itu bekerja keras untuk mereka.
“Ibu gak makan sama kami…,” tanya Rima seperti memohon.
“Iya..iya.. ibu ganti baju dulu..,” kata sang ibu.
Rindra meneruskan makannya. Rima berhenti menunggu sang ibu.
“Aku duluan, bilang ke ibu aku mau mengerjakan PR,” Rindra beranjak dari ruang makan.
Siang itu cerah. Ada bulatan kuning yang memancarkan sinar. Rima sudah menyelesaikan kegiatan home schoolingnya. Di atas pahanya ada perlengkapan menggambar. Pensil, kertas gambar A4, karet penghapus, dan sebuah alas dari kayu. Sang pembantu membantunya untuk naik ke lantau dua,  ia ingin menggambar pemandangan dari atas.
Kegiatan menggambar memang sangat disukainya. Menggambar pemandangan salah satu yang sering ia lakukan. Pemandangan taman, pemandangan gunung, pemandangan hutan, pemandangan jalan, dan sebagainya. Kali ini dia ingin mengambar pemandangan kota dan pelangi. Ya, dia masih teringat pada buku cerita itu. Buku cerita yang menyebutkan ada teman dibalik pelangi.
Digambarnya menggunakan pensil. Hati-hati sekali, Rima tipe yang tidak sering menghapus goresannya. Gambarnya lumayan bagus untuk anak seumurannya.
Sejam, dua jam…lama sekali Rima menggambar pemandangan kota dan pelangi itu. Digambarnya sedetil-detilnya. Rumah-rumah penduduk, gedung-gedung pemerintah, dan kabel-kabel listrik tak luput dari pengamatannya. Siang itu tak ada pelangi. Namun, Rima tetap akan menggambarnya. Ia ingat betul kemarin sore, saat hujan mulai reda ada pelangi besar disana. Ya disana, menggantung indah di angkasa.
“Ehem..anak ibu sedang menggambar apa?,” tiba-tiba sang ibu sudah ada dibelakang Rima.
“Ah..ibu tumben sudah pulang..,” tanya Rima.
“Ya, ibu mau mengajakmu ke suatu tempat…”
“Kemana bu..,” tanya Rima antusias.
“Ke sekolah..ibu mau mendaftarkanmu ke sekolah..,” kata sang Ibu.
Hari itu rasanya pelangi sudah dekat sekali. Rima tersenyum lagi, tersenyum membayangkan esok hari akan bertemu banyak teman.
Sekolah yang ia kunjungi tadi tidak begitu besar. Tapi sungguh modern. Rima melihat anak-anak seumurannya belajar di dalam kelas. Ternyata mereka pulang agak sore. Ibunya sudah menjelaskan pada Rima kalau jam belajar di sekolah tidak sama seperti home schooling.
“Besok lusa aku akan bertemu banyak teman kak..,” kata Rima pada kakaknya.
“Iya…,” Rindra sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Nanti malam ia harus mengurus acara Mapensi di sekolahnya. Rindra ikut senang akhirnya ibunya berinisiatif mengusahakan agar sekolah itu bisa menerima Rima, walaupun harus membayar lebih pada sang kepala sekolah. Setidaknya adiknya tidak akan kesepian lagi di rumah.
“Belajarlah yang rajin, jangan mau kalah dengan teman-temanmu nanti..,” kata Rindra menasehati.
“Iya kak…aku akan belajar yang rajin.,” kata Rima. Rima lalu kembali ke kamarnya. Dia memeriksa baju seragam yang baru saja ia peroleh. Betapa bagusnya seragam itu. Berwarna biru muda dengan rok biru tua bermotif kotak-kotak.
Hari itu tiba, hari saat Rima memakai seragam biru muda itu. Melukis senyuman di wajah dan menggambarkan pelangi besar di atas kepalanya.
Kelasnya lumayan luas, sebagian besar tembok tak terlihat tertutup berbagai benda yang dipajang. Ada papan absen, karton-karton berisi lukisan-lukisan siswa, gambar organ tubuh, gambar-gambar dengan keterangan bahasa inggris dan tak lupa ada gambar presiden dan wakilnya terpajang diatas papan tulis.
Rima, dengan kursi rodanya memasuki kelas. Masih sepi.
Ada sekitar dua puluh pasang kursi-meja. Hmm.. berarti aku akan memiliki sekitar 20 orang teman. Banyak!, kata Rima dalam hati.
“Tap..tap,” suara sepatu berjalan terdengar. Rima, menoleh. Ada seorang anak seumuran dia, perempuan.
Dia tersenyum, melangkah menghampiri Rima.
“Kamu anak baru itu ya?,” tanya anak itu.
“Iya..kenalkan aku Rima…,” Rima tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
“Aku Sarah.,” kata anak itu. Rima senang sekali. Sarah adalah teman pertamanya di sekolah ini.
Rima sangat gembira bisa bersekolah dan memiliki banyak teman. Sarah, ya dia salah satu teman terdekatnya. Di kelas mereka selalu duduk berdekatan, saat istirahat mereka juga bersama-sama. Pergi ke perpus juga, tak segan-segan Sarah membantu Rima untuk mengambilkan buku yang letaknya diatas.
Hari itu Rima mengajak Sarah pergi ke rumahnya. Sarah terlihat sangat senang sekali. Rumah Rima memang lebih luas dan lebih bagus dari milik Sarah.
“Wah…bagus sekali…,” kata Sarah. Diperhatikannya barang-barang mewah di rumah Rima. Rima menyediakan makanan yang enak setiap kali Sarah ke rumahnya. Sarah jadi betah dan sering belajar di rumah Rima.
Suatu hari.
“Bibi…mana buku ceritaku..,” Rima mendorong kursi rodanya ke dapur. Di sana ada seorang pembantu yang sedang memasak.
“Buku yang mana..?,” tanya sang pembantu sambil menghentikan kegiatan memasaknya.
“Buku cerita Toby!, buku kesayanganku…,” kata Rima.
Malam itu Rima ribut sendiri, mencari buku kesayangannya ke sana kemari.
“Apa tak dipinjam temanmu itu?,” tanya Rindra, sang kakak.
“Siapa?Sarah..dia tidak bilang apa-apa kok.. mana mungkin dia mengambilnya tanpa seijinku,” kata Rima.
Rima tak bisa tidur, ia terus memikirkan buku ceritanya yang hilang itu. Apa Sarah yang mengambilnya? Tapi mana mungkin dia sejahat itu.
Keesokan harinya.
Sarah terlihat membawa sebuah buku. Buku yang tak asing buat Rima.
“Pagi Rima, eh ini bukumu mau kukembalikan.,” Sarah menyodorkan buku cerita kesayangan Rima.


“Oh..jadi kamu yang mengambilnya, kok kamu gak bilang-bilang sih…!!,” Rima berteriak marah. Sarah kaget, dia tidak tahu Rima akan marah seperti itu.

Seharian itu mereka tidak berbicara. Sarah sudah mencoba meminta maaf tapi Rima tak mau mendengarkan.
Rima termenung. Melihat langit dari lantai dua rumahnya. Buku Toby ada di pangkuannya. Tak ada pelangi di langit, yang ada hujan gerimis rintik-rintik.
“Teman itu memang begitu… jangan terlalu berharap mereka sesuai dengan yang kita inginkan, mereka punya mimpi yang tak selalu sama dengan kita...,” kakaknya berkata, beriring dengan gerimis yang berubah menjadi hujan.

“Tapi apakah kalian sudah tidak butuh teman lagi …pelangi tak selalu datang setelah hujan, jaga teman-teman yang kalian punya,” Ibunya datang meredam suara hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...