Minggu, 01 Juni 2014

Sam dan Nora


Sam memutar kamera kecil di tangannya. Wajah teman perempuannya itu terlihat tersenyum. Daun Hazel  yang menempel di atas rambutnya tampak seperti jepit atau hiasan rambut.
“Cepatlah!” kata Nora.
Sam segera menekan sebuah tombol. Sebuah gambar kemudian dihasilkan.  Pemandangan yang lumayan indah. Ada hijau, cokelat, pirang, merah muda, tersusun rapi—alam dan manusia. Nora kemudian menghampiri Sam. Langkahnya tampak kasar bagi seorang gadis. Daun di rambutnya kemudian jatuh ke tanah, rasanya ingin Sam tahan saja di rambut gadis itu.
“Bagus?”
“Ya.”
Sam mengarahkan pandang ke arah lain. Ia merasa tak nyaman berada di dekat Nora akhir-akhir ini. Gadis itu sudah berubah sekarang.  Rambutnya masih sama, masih rambut pendek-pirang yang selalu rutin dipotong setiap bulan. Wajahnya juga masih sama, sama merah muda kulitnya. Tapi, tubuhnya tak sama lagi.
Sam menggaruk bagian atas kepalanya, masih ada bekas luka kecil itu. Sebuah luka yang dibuat oleh sahabatnya sekarang, gadis tomboy itu. Semasa kecil, mereka bermain dengan sedikit kasar. Nora dulu lebih besar dari Sam. Nora bahkan sering menyiksanya.
“Biarkan aku yang memotretmu sekarang!” kata Nora.
“Aku tak suka difoto.”
“Tapi aku ingin! Sekali saja.”
Sam berdiri di rerumputan basah. Di belakangnya ada sebuah kastil besar, kastil Malahide.
“Ya, berdiri di sana. Pemandangannya bagus!”
Sam mencoba tersenyum. Jaket Nora turun sebelah, kaos di dalamnya tampak talinya. Senyumnya jadi tertahan.
“1, 2, 3!”
Mereka kembali berjalan di sekitar kastil. Sam merasa lelah tapi Nora tampaknya bersemangat sekali. Langkah kakinya berkali-kali meninggalkan Sam yang berkecepatan lebih rendah. Di kanan-kiri mereka banyak pepohonan yang rimbun, bunga-bunga yang menengadahkan kepalanya ke atas, mencari matahari.
“Ayolah jangan berjalan lambat!”
“Kau yang terlalu cepat. Nikmati sekelilingmu.”
Nora merengut dan menghentikan langkahnya, menunggu Sam yang berjalan seperti seorang pemalas. Ia heran mengapa Sam hari ini tampak tak bersemangat. Sam selama ini selalu berusaha mengimbanginya. Mengimbangi kelelakian dalam tubuh perempuannya. Sam suka bersepeda sehingga kuat kakinya tak akan kalah dari Nora yang suka bela diri. Sam juga membiarkan rambutnya berantakan sehingga wajah imutnya itu tak terlalu tampak sama dengan Nora yang perempuan.
Sam kembali mengangkat kameranya. Kali ini sejajar tak diputar, wajah Nora yang cemberut itu ia pantulkan di kameranya. Cemberut Nora bertambah.
“Aku belum siap dipotret!”
“Hah? Sejak kapan kau memperhatikan penampilanmu?”
“Aku selalu memperhatikan. Buktinya rambutku selalu kujaga sependek ini.”
Gadis yang aneh, pikir Sam. Rasa di dadanya seperti mau meledak saja. Ia benar-benar tertarik dengan gadis di depannya. Beberapa kali ia selalu membuang jauh-jauh perasaan itu karena menurutnya Nora bahkan lebih jantan darinya. Ada Rob juga, teman Nora yang tampak sangat lelaki. Ia lebih pantas menjadi pacar Nora daripada Sam. Sedikit berambut di mukanya, dengan tinggi yang tak wajar untuk remaja. Sam merasa kalah jauh.
Nora menghampiri sebuah semak-semak. Mencoba menyentuh sebuah bunga satu-satunya di semak-semak itu.
“Bunga ini tampak bagus, potretlah!” kata Nora.
Sam terdiam sejenak. Ia tak menuruti perintah Nora, kali ini kameranya ke atas. Ke arah langit yang sedang terbentang lebar. Biru-biru dengan bintang-bintang tak terlihat. Seperti ada awan-awan merah muda. Wajah perempuan Nora.
“Kau bosan berteman denganku?” tanya Nora.
“Sepertinya begitu. Ini sudah terlalu lama.”
“Hmm, kau tak menyukaiku kan?” tanya Nora.
“Andai rambutmu panjang...”
“Sudahlah, kita pulang.”


(untuk @kampusfiksi #Kalimatpertama)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...