Sam memutar kamera kecil di tangannya. Wajah teman perempuannya itu
terlihat tersenyum. Daun Hazel yang
menempel di atas rambutnya tampak seperti jepit atau hiasan rambut.
“Cepatlah!” kata Nora.
Sam segera menekan sebuah tombol. Sebuah gambar kemudian dihasilkan. Pemandangan yang lumayan indah. Ada hijau,
cokelat, pirang, merah muda, tersusun rapi—alam dan manusia. Nora kemudian
menghampiri Sam. Langkahnya tampak kasar bagi seorang gadis. Daun di rambutnya
kemudian jatuh ke tanah, rasanya ingin Sam tahan saja di rambut gadis itu.
“Bagus?”
“Ya.”
Sam mengarahkan pandang ke arah lain. Ia merasa tak nyaman berada di
dekat Nora akhir-akhir ini. Gadis itu sudah berubah sekarang. Rambutnya masih sama, masih rambut pendek-pirang
yang selalu rutin dipotong setiap bulan. Wajahnya juga masih sama, sama merah
muda kulitnya. Tapi, tubuhnya tak sama lagi.
Sam menggaruk bagian atas kepalanya, masih ada bekas luka kecil itu.
Sebuah luka yang dibuat oleh sahabatnya sekarang, gadis tomboy itu. Semasa
kecil, mereka bermain dengan sedikit kasar. Nora dulu lebih besar dari Sam. Nora
bahkan sering menyiksanya.
“Biarkan aku yang memotretmu sekarang!” kata Nora.
“Aku tak suka difoto.”
“Tapi aku ingin! Sekali saja.”
Sam berdiri di rerumputan basah. Di belakangnya ada sebuah kastil besar,
kastil Malahide.
“Ya, berdiri di sana. Pemandangannya bagus!”
Sam mencoba tersenyum. Jaket Nora turun sebelah, kaos di dalamnya tampak
talinya. Senyumnya jadi tertahan.
“1, 2, 3!”
Mereka kembali berjalan di sekitar kastil. Sam merasa lelah tapi Nora
tampaknya bersemangat sekali. Langkah kakinya berkali-kali meninggalkan Sam
yang berkecepatan lebih rendah. Di kanan-kiri mereka banyak pepohonan yang
rimbun, bunga-bunga yang menengadahkan kepalanya ke atas, mencari matahari.
“Ayolah jangan berjalan lambat!”
“Kau yang terlalu cepat. Nikmati sekelilingmu.”
Nora merengut dan menghentikan langkahnya, menunggu Sam yang berjalan
seperti seorang pemalas. Ia heran mengapa Sam hari ini tampak tak bersemangat.
Sam selama ini selalu berusaha mengimbanginya. Mengimbangi kelelakian dalam
tubuh perempuannya. Sam suka bersepeda sehingga kuat kakinya tak akan kalah
dari Nora yang suka bela diri. Sam juga membiarkan rambutnya berantakan
sehingga wajah imutnya itu tak terlalu tampak sama dengan Nora yang perempuan.
Sam kembali mengangkat kameranya. Kali ini sejajar tak diputar, wajah
Nora yang cemberut itu ia pantulkan di kameranya. Cemberut Nora bertambah.
“Aku belum siap dipotret!”
“Hah? Sejak kapan kau memperhatikan penampilanmu?”
“Aku selalu memperhatikan. Buktinya rambutku selalu kujaga sependek ini.”
Gadis yang aneh, pikir Sam. Rasa di dadanya seperti mau meledak saja. Ia benar-benar
tertarik dengan gadis di depannya. Beberapa kali ia selalu membuang jauh-jauh
perasaan itu karena menurutnya Nora bahkan lebih jantan darinya. Ada Rob juga,
teman Nora yang tampak sangat lelaki. Ia lebih pantas menjadi pacar Nora
daripada Sam. Sedikit berambut di mukanya, dengan tinggi yang tak wajar untuk
remaja. Sam merasa kalah jauh.
Nora menghampiri sebuah semak-semak. Mencoba menyentuh sebuah bunga
satu-satunya di semak-semak itu.
“Bunga ini tampak bagus, potretlah!” kata Nora.
Sam terdiam sejenak. Ia tak menuruti perintah Nora, kali ini kameranya ke
atas. Ke arah langit yang sedang terbentang lebar. Biru-biru dengan
bintang-bintang tak terlihat. Seperti ada awan-awan merah muda. Wajah perempuan
Nora.
“Kau bosan berteman denganku?” tanya Nora.
“Sepertinya begitu. Ini sudah terlalu lama.”
“Hmm, kau tak menyukaiku kan?” tanya Nora.
“Andai rambutmu panjang...”
“Sudahlah, kita pulang.”
(untuk @kampusfiksi #Kalimatpertama)