Kamis, 27 Desember 2012

CERPEN : SANG DERMAWAN


Matahari terik, bumi masih berjalan dan mengayun-ayun orang-orang yang berlawanan arah dengannya. Seorang bapak tampak rapi dengan kemeja santai dan celana jahitan yang disetrika dengan baik. Dia mengobrol dengan montir mobil di sebuah bengkel dekat dengan tempat dia bekerja.
Pak Abdul, namanya. Sehari-hari dia mengurusi berkas-berkas mahasiswa yang ada di sebuah universitas swasta. Tampilannya yang hangat membuat banyak orang mudah akrab dengannya. Murah senyum, dengan kumis lebatnya senyumnya membuatnya semakin berwibawa. Mungkin dia bukan dosen yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, atau pejabat tinggi yang punya banyak wewenang, tapi auranya sudah cukup membuat orang-orang disekelilingnya tertunduk-tunduk tanda menghormati. Faktor umur mungkin juga menjadikannya dihormati seperti itu. Sudah hampir pensiun.

“Mobilnya saya tinggal dulu ya Mas,” kata Pak Abdul pada montir itu.
“O iya Pak, besok insyaAllah bisa beres kok, eh Bapak mau pulang naik apa?,” tanya sang montir.
“Angkot.. bisa turun depan rumah,” Pak Abdul berkata sambil tersenyum.
Matahari masih terik, tapi agak condong sedikit. Sebuah angkot berwarna biru berhenti. Pak Abdul naik ke dalamnya. Ada beberapa orang di tempat penumpang. Seorang ibu dengan anaknya, seorang pelajar dengan baju lusuhnya, dan seorang ibu-ibu tua yang membawa serta dagangannya. Keranjang dan tempeh milik ibu tua itu menebarkan hawa yang tak biasa. Pak Abdul memperhatikan dagangan berbau menyengat itu.
“Jualan apa bu?,” tanya Pak Abdul.
“O ini petes dan kerupuk ikan..baru Pak,” ibu-ibu berlogat Madura itu menyingkap tutup dagangannya. Tampaklah kerupuk-kerupuk ikan yang dibungkus dengan plastik transparan, benda yang bernama petes tak terlihat oleh Pak Abdul, mungkin ada dibagian bawah keranjang.
“Saya beli bu…,” Pak Abdul merogoh saku kemejanya. Ada uang duapuluh ribuan yang kemudian keluar dan berpindah tangan ke tangan ibu-ibu itu.
Rumah Pak Abdul tampak sepi dari luar. Pak Abdul menenteng keresek hitam penuh dengan kerupuk ikan. Diputarnya gagang pintu, tak terkunci.
Pak Abdul menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihadapannya anak bungsunya bertingkah lagi. Di telinganya ada benda aneh yang menggantung, bertindik.
“Apa ini…kamu mau jadi perempuan ya?,” Pak Abdul memandangi anaknya yang baru saja pulang dari luar kota. Sudah dua bulan anaknya kuliah di luar kota.
“Ah Papa, cuma tindik doank..”
“Lepas, ayo lepas.. Papa tidak suka kamu seperti itu..,” kata Pak Abdul dengan tegas. Sebenarnya Pak Abdul tidak suka marah-marah, namun ada beberapa hal yang memang harus ia tegakkan.
Si Bungsu berjalan lesu ke kamar tidurnya, dia menuruti perintah papanya itu. Pak Abdul jadi merasa kasian sendiri melihat anaknya itu. Dia jarang sekali memarahi anaknya. Dipandanginya langit-langit kamar, istrinya tertidur disebelahnya.
“Besok akan aku ajak si Bungsu ke toko, biar dia belanja sepuasnya..,” kata Pak Abdul dalam hati. Sudah pukul 11 malam lewat, Pak Abdul berusaha memejamkan matanya tapi tak bisa.
Jam 1 lewat, Pak Abdul masih terbangun. Secangkir kopi ada di hadapannya. Dia ada di warung, tak jauh dari rumahnya.
Dihadapannya ada Pak Salim, mukanya lesu dan lusuh. Keriputnya semakin mengkerut. Pak Salim, tetangga Pak Abdul adalah penjaga SD. Sudah berumur juga.
“Ada apa Pak, lesu amat..,” tanya Pak Abdul.
“Ehm…biasa masalah uang Pak, cucu saya mau masuk SMP, saya tidak punya uang. Kemarin saya pinjam uang ke Koperasi, eh tadi dilihat uangnya tidak ada di rumah, entah siapa yang mengambil”
“Wah…kok bisa hilang Pak?,” Pak Abdul mulai tersentuh dengan cerita laki-laki didepannya itu.
Beberapa hari kemudian ada serantang kolak di meja makan Pak Abdul. Istri Pak Salim yang memberikannya.
“Tumben, ada acaranya apa ya…,” tanya Bu Abdul pada suaminya.

“Ah mungkin pemberian biasa..,” Pak Abdul mengambil mangkuk kecil dan sendok. Duduk di depan televisi sambil memakan kolak pemberian Bu 

Salim.
Pagi itu matahari sedikit malu, hanya menampakkan sebagian kecil wajahnya. Awan-awan mendung berkumpul di atas langit kota. Pak Abdul berangkat ke kantor menggunakan mobil Kijang innova-nya.
“Diana..diana kekasihku…,” suara lagu dari anggota band lawas Koesplus memberi warna cerah di wajah Pak Abdul. Dia ikut bernyanyi dengan suara beratnya. Jalanan sudah lumayan ramai. Ini bukan ibu kota yang selalu macet, pohon dan taman kota yang asri masih bisa dinikmati oleh warga di kota ini.
Pak Abdul berhenti di parkiran. Seorang satpam tersenyum padanya.
“Pak ada tamu tuh..,” kata sang satpam.
“O iya saja sudah janjian tadi..,” Pak Abdul melangkahkan kakinya ke ruang kerjanya. Pagi itu ruang akademik masih sepi. Ada seorang bapak-bapak duduk di depan meja Pak Abdul.
“Assalamualaikum…,” kata sang tamu melihat Pak Abdul datang.
“Waalaikumsalam…,” Mereka berjabat tangan.
Mereka berbincang dengan santai, menanyakan kabar ini dan itu. Bercerita tentang keluarga dan masa lalu mereka.
“Jadi biasanya berapa Pak?,”  tanya sang tamu.
“Biasanya segini..,” Pak Abdul memberikan kode denga jari-jemarinya.
Sang tamu mengangguk-angguk dan mengerutkan dahinya.
“Ya, nanti saya akan tanyakan lagi ke dosennya apa bisa lebih rendah...,” kata Pak Abdul.
Sang tamu kemudian pamit, tak menyangka akan semahal itu untuk memasukkan anaknya ke Universitas itu tanpa harus lolos tes.
Sekotak kue bolu kini ada di hadapan Pak Abdul, itu kue bolu kesukaannya. Temannya itu yang membawanya sebagai oleh-oleh. Dimakannya dengan lahap kue-kue bolu tersebut.
“Wah…gak bagi-bagi Pak,” seorang karyawati datang. Perempuan muda yang penuh daya tarik. Rambutnya hitam tergerai, kemeja putihnya tak mampu menyembunyikan lekuk tubuhnya. Ditambah rok hitam selutut dan gincu merah merona.
“Ayo sini…ini ada bolu..,” Pak Abdul tersenyum sumringah melihat juniornya datang.
Perempuan itu duduk di kursi depan Pak Abdul, mengambil bolu sepotong. Dimakannya dengan hati-hati agak tak membuat mulutnya belepotan.
“Nanti siang sebelum makan siang Bapak disuruh menghadap ke Pak Rico, katanya mau berbicara masalah proyek..”. Pak Abdul mengangguk, tangannya memeriksa dokumen-dokumen di komputer.
“Kalau dapat untung bagi-bagi dong Pak…,” kata perempuan itu manja.
“Iya…,” Pak Abdul tak mengalihkan pandangnya dari layar komputer. Dia sudah berumur, perempuan bukanlah hal yang menjadi prioritasnya lagi. Sudah cukup adik laki-lakinya merepotkan dia karena memiliki istri dua. Istri tua adiknya pernah datang menangis minta tolong supaya adiknya itu menceraikan istri mudanya, namun tentu saja itu bukan kuasa Pak Abdul. Sebagai kakak sudah cukup sering dia membantu masalah ekonomi. Mencarikan adiknya pekerjaan, membayarkan tunggakan rumah, dan lain sebagainya.
Pak Abdul pulang dengan riang, di sakunya ada lembaran-lembaran berharga. Dia membeli oleh-oleh buah-buahan untuk istrinya di rumah.
“Ibu senang sekali buah naga, seger..,” istri Pak Abdul memotong-motong buah naga dan menaruhnya di piring buah.
Pak Abdul membaringkan tubuhnya di sofa, tidur-tiduran dengan santai.
“Ting Tong..,” bunyi bel rumah terdengar.
Seorang Bapak-bapak berbaju koko kini duduk di meja ruang tamu. Tangannya memegang map dan bolpoin.
“Jadi saya kemari untuk memberitahukan tentang renovasi masjid Pak, biayanya sudah ditulis disini…,” dia menyodorkan map yang berisi beberapa lembar kertas. Masjid itu berada tak jauh dari rumah Pak Abdul. Pak Abdul sering juga berjamaah di masjid itu.
“Oh iya iya….saya bisa membantu apa?,” tanya Pak Abdul.
“Yah..kalau mau membantu menjadi panitia renovasi juga masih bisa, tapi kalau sibuk ya membantu seikhlasnya juga boleh Pak,” kata laki-laki itu.
“Sebentar ya…,” Pak Abdul beranjak dan masuk ke dalam.
Bapak Abdul ini bukan kepala, bukan pejabat tinggi tapi sungguh dermawan. Saya doakan yang Bapak Abdul sedekahkan ini akan dibalas berkali-kali lipat, kata laki-laki itu dalam hati.
“Terima kasih banyak Pak,” kata laki-laki itu sambil membungkuk. Dia kemudian pamit dan beranjak ke rumah-rumah yang lain.
Matahari menyembul lagi ke permukaan. Sinarnya mengurai warna-warna di bumi. Pak Abdul tersenyum lagi, dihadapannya ada sang tamu yang beberapa hari lalu menemuinya.
“Terima kasih atas bantuannya Pak, ini tidak seberapa…,” kata sang tamu itu menyodorkan amplop coklat.
“Ya ya….saya doakan anak bapak bisa betah dan bekerja dengan baik disini…,” Pak Abdul melipat dan mengantongi amplop cokelat itu di saku celananya.
Sore harinya, saat langit mulai oranye, Pak Abdul pulang ke rumah dengan gembira. Ia baru saja membeli Ipad yang diminta Satria, anak bungsunya. Saat kemarin pulang Satria mengeluh ingin sekali mempunyai Ipad. Baru sekarang Pak Abdul bisa membelikannya benda itu.
Rumahnya tampak sepi seperti biasa. Banyak daun-daun kering yang menghiasi halaman depan rumahnya. Tumben belum disapu, biasanya sang istri akan menyapu daun-daun kering itu sebelum maghrib tiba.
Seorang perempuan tampak menangis sesunggukan. Itu istrinya.
“Ada apa Bu?,” kok menangis…
“Satria Pak…dia…,” istri Pak Abdul tak mampu meneruskan kata-katanya.
Tubuh Pak Abdul lemas, jantungnya seakan terhimpit dan sulit berdetak. Satria, anak bungsunya ditangkap oleh kepolisian karena kedapatan menggunakan obat-obatan terlarang.

Dan malam hari itu datang tak seperti biasanya, tak ada bintang dan tak ada bulan. Angin sepoi-sepoi itu terasa kencang sekali untuk sebagian orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...