Matahari
terik, bumi masih berjalan dan mengayun-ayun orang-orang yang berlawanan arah
dengannya. Seorang bapak tampak rapi dengan kemeja santai dan celana jahitan
yang disetrika dengan baik. Dia mengobrol dengan montir mobil di sebuah bengkel
dekat dengan tempat dia bekerja.
Pak
Abdul, namanya. Sehari-hari dia mengurusi berkas-berkas mahasiswa yang ada di
sebuah universitas swasta. Tampilannya yang hangat membuat banyak orang mudah
akrab dengannya. Murah senyum, dengan kumis lebatnya senyumnya membuatnya
semakin berwibawa. Mungkin dia bukan dosen yang menulis jurnal-jurnal ilmiah,
atau pejabat tinggi yang punya banyak wewenang, tapi auranya sudah cukup
membuat orang-orang disekelilingnya tertunduk-tunduk tanda menghormati. Faktor
umur mungkin juga menjadikannya dihormati seperti itu. Sudah hampir pensiun.
“Mobilnya
saya tinggal dulu ya Mas,” kata Pak Abdul pada montir itu.
“O
iya Pak, besok insyaAllah bisa beres kok, eh Bapak mau pulang naik apa?,” tanya
sang montir.
“Angkot..
bisa turun depan rumah,” Pak Abdul berkata sambil tersenyum.
Matahari
masih terik, tapi agak condong sedikit. Sebuah angkot berwarna biru berhenti.
Pak Abdul naik ke dalamnya. Ada beberapa orang di tempat penumpang. Seorang ibu
dengan anaknya, seorang pelajar dengan baju lusuhnya, dan seorang ibu-ibu tua
yang membawa serta dagangannya. Keranjang dan tempeh milik ibu tua itu menebarkan
hawa yang tak biasa. Pak Abdul memperhatikan dagangan berbau menyengat itu.
“Jualan
apa bu?,” tanya Pak Abdul.
“O
ini petes dan kerupuk ikan..baru Pak,” ibu-ibu berlogat Madura itu menyingkap
tutup dagangannya. Tampaklah kerupuk-kerupuk ikan yang dibungkus dengan plastik
transparan, benda yang bernama petes tak terlihat oleh Pak Abdul, mungkin ada
dibagian bawah keranjang.
“Saya
beli bu…,” Pak Abdul merogoh saku kemejanya. Ada uang duapuluh ribuan yang
kemudian keluar dan berpindah tangan ke tangan ibu-ibu itu.
Rumah
Pak Abdul tampak sepi dari luar. Pak Abdul menenteng keresek hitam penuh dengan
kerupuk ikan. Diputarnya gagang pintu, tak terkunci.
Pak
Abdul menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihadapannya anak bungsunya bertingkah
lagi. Di telinganya ada benda aneh yang menggantung, bertindik.
“Apa
ini…kamu mau jadi perempuan ya?,” Pak Abdul memandangi anaknya yang baru saja
pulang dari luar kota. Sudah dua bulan anaknya kuliah di luar kota.
“Ah
Papa, cuma tindik doank..”
“Lepas,
ayo lepas.. Papa tidak suka kamu seperti itu..,” kata Pak Abdul dengan tegas.
Sebenarnya Pak Abdul tidak suka marah-marah, namun ada beberapa hal yang memang
harus ia tegakkan.
Si
Bungsu berjalan lesu ke kamar tidurnya, dia menuruti perintah papanya itu. Pak
Abdul jadi merasa kasian sendiri melihat anaknya itu. Dia jarang sekali
memarahi anaknya. Dipandanginya langit-langit kamar, istrinya tertidur
disebelahnya.
“Besok
akan aku ajak si Bungsu ke toko, biar dia belanja sepuasnya..,” kata Pak Abdul
dalam hati. Sudah pukul 11 malam lewat, Pak Abdul berusaha memejamkan matanya
tapi tak bisa.
Jam
1 lewat, Pak Abdul masih terbangun. Secangkir kopi ada di hadapannya. Dia ada
di warung, tak jauh dari rumahnya.
Dihadapannya
ada Pak Salim, mukanya lesu dan lusuh. Keriputnya semakin mengkerut. Pak Salim,
tetangga Pak Abdul adalah penjaga SD. Sudah berumur juga.
“Ada
apa Pak, lesu amat..,” tanya Pak Abdul.
“Ehm…biasa
masalah uang Pak, cucu saya mau masuk SMP, saya tidak punya uang. Kemarin saya
pinjam uang ke Koperasi, eh tadi dilihat uangnya tidak ada di rumah, entah
siapa yang mengambil”
“Wah…kok
bisa hilang Pak?,” Pak Abdul mulai tersentuh dengan cerita laki-laki didepannya
itu.
Beberapa
hari kemudian ada serantang kolak di meja makan Pak Abdul. Istri Pak Salim yang
memberikannya.
“Tumben,
ada acaranya apa ya…,” tanya Bu Abdul pada suaminya.
“Ah
mungkin pemberian biasa..,” Pak Abdul mengambil mangkuk kecil dan sendok. Duduk
di depan televisi sambil memakan kolak pemberian Bu
Salim.
Pagi
itu matahari sedikit malu, hanya menampakkan sebagian kecil wajahnya. Awan-awan
mendung berkumpul di atas langit kota. Pak Abdul berangkat ke kantor
menggunakan mobil Kijang innova-nya.
“Diana..diana
kekasihku…,” suara lagu dari anggota band lawas
Koesplus memberi warna cerah di wajah Pak Abdul. Dia ikut bernyanyi dengan
suara beratnya. Jalanan sudah lumayan ramai. Ini bukan ibu kota yang selalu
macet, pohon dan taman kota yang asri masih bisa dinikmati oleh warga di kota
ini.
Pak
Abdul berhenti di parkiran. Seorang satpam tersenyum padanya.
“Pak
ada tamu tuh..,” kata sang satpam.
“O
iya saja sudah janjian tadi..,” Pak Abdul melangkahkan kakinya ke ruang
kerjanya. Pagi itu ruang akademik masih sepi. Ada seorang bapak-bapak duduk di
depan meja Pak Abdul.
“Assalamualaikum…,”
kata sang tamu melihat Pak Abdul datang.
“Waalaikumsalam…,”
Mereka berjabat tangan.
Mereka
berbincang dengan santai, menanyakan kabar ini dan itu. Bercerita tentang
keluarga dan masa lalu mereka.
“Jadi
biasanya berapa Pak?,” tanya sang tamu.
“Biasanya
segini..,” Pak Abdul memberikan kode denga jari-jemarinya.
Sang
tamu mengangguk-angguk dan mengerutkan dahinya.
“Ya,
nanti saya akan tanyakan lagi ke dosennya apa bisa lebih rendah...,” kata Pak
Abdul.
Sang
tamu kemudian pamit, tak menyangka akan semahal itu untuk memasukkan anaknya ke
Universitas itu tanpa harus lolos tes.
Sekotak
kue bolu kini ada di hadapan Pak Abdul, itu kue bolu kesukaannya. Temannya itu
yang membawanya sebagai oleh-oleh. Dimakannya dengan lahap kue-kue bolu
tersebut.
“Wah…gak
bagi-bagi Pak,” seorang karyawati datang. Perempuan muda yang penuh daya tarik.
Rambutnya hitam tergerai, kemeja putihnya tak mampu menyembunyikan lekuk
tubuhnya. Ditambah rok hitam selutut dan gincu merah merona.
“Ayo
sini…ini ada bolu..,” Pak Abdul tersenyum sumringah melihat juniornya datang.
Perempuan
itu duduk di kursi depan Pak Abdul, mengambil bolu sepotong. Dimakannya dengan
hati-hati agak tak membuat mulutnya belepotan.
“Nanti
siang sebelum makan siang Bapak disuruh menghadap ke Pak Rico, katanya mau
berbicara masalah proyek..”. Pak Abdul mengangguk, tangannya memeriksa
dokumen-dokumen di komputer.
“Kalau
dapat untung bagi-bagi dong Pak…,” kata perempuan itu manja.
“Iya…,”
Pak Abdul tak mengalihkan pandangnya dari layar komputer. Dia sudah berumur,
perempuan bukanlah hal yang menjadi prioritasnya lagi. Sudah cukup adik
laki-lakinya merepotkan dia karena memiliki istri dua. Istri tua adiknya pernah
datang menangis minta tolong supaya adiknya itu menceraikan istri mudanya,
namun tentu saja itu bukan kuasa Pak Abdul. Sebagai kakak sudah cukup sering
dia membantu masalah ekonomi. Mencarikan adiknya pekerjaan, membayarkan
tunggakan rumah, dan lain sebagainya.
Pak
Abdul pulang dengan riang, di sakunya ada lembaran-lembaran berharga. Dia
membeli oleh-oleh buah-buahan untuk istrinya di rumah.
“Ibu
senang sekali buah naga, seger..,” istri Pak Abdul memotong-motong buah naga
dan menaruhnya di piring buah.
Pak
Abdul membaringkan tubuhnya di sofa, tidur-tiduran dengan santai.
“Ting
Tong..,” bunyi bel rumah terdengar.
Seorang
Bapak-bapak berbaju koko kini duduk di meja ruang tamu. Tangannya memegang map
dan bolpoin.
“Jadi
saya kemari untuk memberitahukan tentang renovasi masjid Pak, biayanya sudah
ditulis disini…,” dia menyodorkan map yang berisi beberapa lembar kertas.
Masjid itu berada tak jauh dari rumah Pak Abdul. Pak Abdul sering juga
berjamaah di masjid itu.
“Oh
iya iya….saya bisa membantu apa?,” tanya Pak Abdul.
“Yah..kalau
mau membantu menjadi panitia renovasi juga masih bisa, tapi kalau sibuk ya
membantu seikhlasnya juga boleh Pak,” kata laki-laki itu.
“Sebentar
ya…,” Pak Abdul beranjak dan masuk ke dalam.
Bapak
Abdul ini bukan kepala, bukan pejabat tinggi tapi sungguh dermawan. Saya doakan
yang Bapak Abdul sedekahkan ini akan dibalas berkali-kali lipat, kata laki-laki
itu dalam hati.
“Terima
kasih banyak Pak,” kata laki-laki itu sambil membungkuk. Dia kemudian pamit dan
beranjak ke rumah-rumah yang lain.
Matahari
menyembul lagi ke permukaan. Sinarnya mengurai warna-warna di bumi. Pak Abdul
tersenyum lagi, dihadapannya ada sang tamu yang beberapa hari lalu menemuinya.
“Terima
kasih atas bantuannya Pak, ini tidak seberapa…,” kata sang tamu itu menyodorkan
amplop coklat.
“Ya
ya….saya doakan anak bapak bisa betah dan bekerja dengan baik disini…,” Pak
Abdul melipat dan mengantongi amplop cokelat itu di saku celananya.
Sore
harinya, saat langit mulai oranye, Pak Abdul pulang ke rumah dengan gembira. Ia
baru saja membeli Ipad yang diminta Satria, anak bungsunya. Saat kemarin pulang
Satria mengeluh ingin sekali mempunyai Ipad. Baru sekarang Pak Abdul bisa membelikannya
benda itu.
Rumahnya
tampak sepi seperti biasa. Banyak daun-daun kering yang menghiasi halaman depan
rumahnya. Tumben belum disapu, biasanya sang istri akan menyapu daun-daun
kering itu sebelum maghrib tiba.
Seorang
perempuan tampak menangis sesunggukan. Itu istrinya.
“Ada
apa Bu?,” kok menangis…
“Satria
Pak…dia…,” istri Pak Abdul tak mampu meneruskan kata-katanya.
Tubuh
Pak Abdul lemas, jantungnya seakan terhimpit dan sulit berdetak. Satria, anak
bungsunya ditangkap oleh kepolisian karena kedapatan menggunakan obat-obatan
terlarang.
Dan
malam hari itu datang tak seperti biasanya, tak ada bintang dan tak ada bulan.
Angin sepoi-sepoi itu terasa kencang sekali untuk sebagian orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar