Sampah,
apa dia?. Aku adalah dirinya, sebuah sampah. Berikut ini cerita perjalananku.
Terminal
Bayualun masih sepi, ya ini masih subuh. Belum banyak orang yang berkumpul
disini. Tapi beberapa warung rupanya sudah buka, entahlah apa mereka juga buka
24 jam sehari seperti minimarket modern itu. Sebuah warung menyalakan televisi,
tampaklah gambar pemain-pemain sepak bola berlari kesana kemari menggiring
bola. Orang-orang di depan televisi itu tak begitu semangat memperhatikan. Itu
pertandingan biasa, bukan antar klub-klub ternama.
Di
samping warung itu ada sekelompok pemuda. Bajunya gelap-gelap, senada dengan
kulit mereka yang juga gelap. Beberapa alat musik buatan sendiri tergeletak di
antara mereka. Beberapa waktu lalu mereka bernyanyi-nyanyi lagu gaul berbahasa
daerah dengan penuh semangat, sekarang mereka sudah capek. Beberapa dari mereka
malah terkantuk-kantuk.
Seorang
pedagang makanan kecil terduduk di bangku terminal. Kepalanya disandarkan ke
tembok kotor di sebelahnya. Dirapikan dagangannya. Ada minuman ringan, kerupuk
ikan, tissue, kacang kapri, dan beberapa makanan ringan lainnya. Dia baru
datang sejam yang lalu. Bis memang tak berhenti beroperasi di malam hari,
sehingga jam kerja pedagang sepertinya bisa sepanjang siang dan malam.
Jam
3 pagi, pedagang itu menaiki sebuah bis. Orang-orang di dalam bis itu banyak
yang memejamkan mata. Entah benar-benar tidur atau hanya berusaha tidur.
Pedagang itu mulai mempromosikan dagangannya. Kalimat-kalimat yang dia hafal di
luar kepala karena sudah diucapkannya ribuan kali.
Seorang
anak muda membeli sebuah minuman ringan, botolnya berwarna biru, harganya 5ribu
rupiah. Dia membayar dengan uang 5ribu lusuh, kembalian dari kondektur bis.
Minuman itu ia minum sedikit, ia tutup kembali dan dia taruh di tas ransel
bagian luar, ada tempat khusus untuk menaruh botol minuman.
Bis
lalu melaju dengan cepat, beberapa orang berdiri. Beberapa dari mereka malah
memilih jongkok dibawah. Udara malam yang dingin mungkin membuat tubuh mereka
tak kuasa untuk berdiri dengan mata yang mengantuk.
Lama
sekali bis itu berjalan, tak ada penumpang yang turun, sepertinya para
penumpang baru akan turun di terminal berikutnya.
Jam
5, sudah sampai di terminal berikutnya. Semua penumpang turun. Anak muda itupun
turun, berjalan ke arah penitipan motor. Ia tak sadar botol minuman birunya
terjatuh menggelinding menelusuri aspal dan berhenti saat terbentur tempat
sampah.
Hari
itu adalah hari kelahiranku. Seorang pemulung memunggut botol biru yang masih
berisi itu. Mukanya sumringah melihat botol biru itu masih berisi. Ia buka
tutupnya dengan tangan kotornya, dihirup baunya, masih baru.. Seteguk, dua
teguk, tiga teguk, sampai tegukan terakhir. Akhirnya aku lahir juga, sampah
botol biru. Aku dan tutupku pun dilemparkannya ke sebuah karung. Banyak sampah
botol dan gelas plastik disana. Hmmm…mereka jelek, kotor. Kataku dalam hati.
Mereka terdiam, seperti tertidur semua dalam karung itu.
Saat
itu karung goni itu mulai bergoyang-goyang di punggung belakang sang pemulung.
Aku mulai mabok, hari pertama menjadi sampah itu membuatku mual.
Kota
itu mulai terang, seperti ada lampu yang tadinya redup sekarang menyala
kembali. Udara masih dingin, sang pemulung menghentikan langkahnya di sebuah
tempat sampah besar di depan sebuah masjid. Dia mengorek-orek sampah-sampah
disana. Mencari plastik yang ia cari. Akhirnya bertemu juga dengan sebuah gelas
plastik, ia memungut dan melemparkannya ke dalam karung goni.
“Aduh…,”
kepalaku dijatuhi sebuah benda. Aku menatapnya dengan sinis. Siapa dia?
Gelas
plastik itu terlihat peyok di badannya. Ugh…kasian sekali.
Dia
melihatku dalam keadaan lemas, dan kemudian gelas plastic itupun pingsan.
Badanku
terasa hangat, ada cahaya yang masuk dari balik karung goni. Itu sinar
matahari, sang pemulung sedang duduk-duduk di trotoar. Jalanan kota lumayan
ramai. Pemulung itu menemukan puntung rokok yang masih bisa dipakai.
Dibersihkan punting rokok lusuh itu dengan tangannya yang tak kalah lusuh.
Dikeluarkan korek api jress dari kantong saku celana. Jress..api menyala dan
menyulut puntung rokok itu.
Aduh..panas
sekali bokongku, sinar matari semakin terik masuk melalui celah-celah karung
goni. Aku mencoba memejamkan mata tapi tak bisa. Ada apa dengan botol-botol
lain, mengapa mereka bisa tertidur sepulas itu.
Tiba-tiba
karung goni bergoyang lagi aku terperosok ke bawah karung goni, tertimpa botol
dan plastic-plastik lagi. Aku berkunang-kunang dan pingsan.
Langkah
kaki sang pemulung belum lelah. Sejak subuh sampai sekarang. Dengan alas kaki
sepasang sandal jepit ia dengan gagah berani menyeleksi sampah-sampah yang ia
lewati. Dia sudah hafal jalanan yang ia lewati. Sebenarnya baru tiga bulan dia
datang di kota ini. Datang dari desa karena dijanjikan pekerjaan oleh temannya.
Umurnya belum genap 30 tahun, anak istripun belum punya. Tapi nasibnya tak
beruntung, pekerjaan yang temannya tawarkan malah membuatnya bermasalah dan
entah bagaimana akhirnya dia menjadi pemulung seperti ini.
Siang
datang, sudah banyak benda plastic di karung goninya. Kakinya melangkah ke
gang-gang sempit. Dari gang sempit kakinya memilih rel kereta api untuk
melangkah. Rel yang usang, berpuluh tahun lalu dipasang dan sampai sekarang tak
sempat diganti.
Sang
pemulung tenang-tenang saja berjalan di rel, tak ada rasa takut ada kereta yang
tiba-tiba lewat. Sudah terbiasa. Stasiun Kereta Api terlihat, suara-suara
rauangan kereta memekakkan telinga.
Aku
terbangun, dengan kepala pusing. Aku sudah tak tahan lagi di karung goni ini.
Kapan perjalanan ini berakhir. Sang botol biru tiada henti mengeluh dalam
lubang botol.
Aku
mencium bau enak, sedap. Hmm ternyata sang pemulung makan pisang goreng di
stasiun. Sedari pagi perutnya belum terisi apapun.
Brukk…karung
goni tersenggol sebuah troli barang.
“Maaf
mas…,” kata orang yang mendorongnya. Sang pemulung cuma menoleh sekilas. Tak
peduli.
Jantung
botolku berdetak kencang. Sebuah botol plastik bening tampak meregang nyawa
setelah sesuatu melindasnya.
Karung
goni kembali terayun-ayun. Aku tak bisa memejamkan mataku.
Sang
pemulung berjalan ke sebuah tempat. Penuh dengan tumpukan sampah. Baunya tak
bisa ditolerir lagi. Tumpukan sampah tak berbentuk itu dikais-kais oleh
beberapa pemulung.
Pruk..pruk..
beberapa benda baru masuk ke dalam karung goni. Ugh.. bau sekali, ya ampun sang
botol biru mencoba menutup hidungnya yang tak berlubang.
Karung
goni semakin banyak penghuninya. Sumuk, aku semakin pusing dan hampir pingsan
lagi.
Tiba-tiba
udara menjadi lapang. Aku menghirup dengan senang. Tubuh botolku
terpontang-panting keluar dari karung goni. Terjatuh di tanah. Aduh.
Sang
pemulung memisah-misahkan botol plastik bening dan botol-botol berwarna. Ada seseorang
didepannya. Membawa uang-uang lusuh dan sesekali menjilatnya. Aneh.
Aku
dikumpulkan bersama botol-botol lain yang sejenis. Berdiam disana beberapa jam,
tak tersentuh. Ah nyaman disini, pikirku. Malam datang membawa hawa dingin.
“Saya
beli botol-botol biru seperti biasa pak…,” seseorang datang. Memakai kaos
hitam. Wajahnya tak jelas, yang pasti ada jenggot di dagunya. Tak begitu lebat.
Dikeluarkannya beberapa uang kertas.
Tubuhku
diangkat lalu terlempar ke plastic kresek hitam. Gelap. Banyak sejenisku juga
disana. Botol-botol biru. Kami mulai terayun-ayun lagi.
Udara
malam itu terasa seperti jarum-jarum pentul yang menusuk. Sepeda motor melaju
kencang. Orang berjenggot tadi yang mengendarainya. Kresek hitam tadi ia taruh
diantara sadel dan setir sepeda.
Ia
belok kesebuah gang, memelankan laju motornya. Berhenti di sebuah rumah.
Rumahnya unik. Banyak benda-benda kerajinan disana. Lampion-lampion biru
tergantung di teras rumah.
Bruk..aduh,
kesekian kalinya manusia itu membantingku. Satu-persatu botol-botol biru
dikeluarkan, diletakkan di lantai keramik. Termasuk aku.
Orang
berjenggot itu lalu masuk ke dalam rumahnya. Lama kami ditinggal, akupun
tertidur dalam keadaan berdiri.
Saat
membuka mata, silau. Badanku rasanya demam. Surya bertengger di dahan pohon
mangga. Sudah lumayan siang. Aku terkejut dengan kejadian didepanku, lalu
pingsan.
Orang berjenggot itu memotong-motong botol
berwarna biru dengan berbagai ukuran. Gunting yang ia pakai cukup kuat dan
tajam sehingga sekali tekan langsung terbabat dinding-dingding benda silinder
itu. Namanya, Supriyadi, seorang perajin lampion. Selain membuat lampion biasa,
dia juga memanfaatkan botol-botol bekas untuk bahan pembuatan lampionnya.
Badanku
terangkat. Ah dan akupun melihat sesosok manusia kecil mengangkatku. Seorang
anak kecil. Oh ternyata aku tak terpotong!!
Anak
itu menemui temannya. Dia perempuan dan temannya laki-laki.
“Ini
mas, botolnya…,” anak perempuan itu menunjukkan diriku ke temannya itu.
“Loh..aku
kan minta botol kacaa, botol beling…ini kan plastik,” anak laki-laki itu
cerewet juga. Mulutnya monyong-monyong tanda protes.
“Di
rumahku adanya botol ini, Bapak tidak punya botol beling..,” kata anak
perempuan itu dengan tegas.
Mereka
lalu membuka tutupku. Memasukkan kertas-kertas ke dalamnya. Aww…geli.
Setelah
itu aku melihat lubang di tanah. Mereka melemparkanku ke dalamnya. Tanah-tanah
menutupiku sampai gelap, tak bisa melihat apa-apa. Aku pingsan, untuk kesekian
kalinya.
Satu
tahun kemudian. Masih gelap.
Lima
tahun kemudian. Masih gelap.
Sepuluh
tahun kemudian.
Aww..aku
terbangun dari pingsan panjangku. Sebuah benda dari besi menekan tubuhku.
“Ah…masih
ada,” seseorang bersuara.
Aku
membuka mata. Melihat dunia kembali. Ada dua manusia disana, dua orang anak
kecil yang dulu. Yang satu perempuan seperti laki-laki, dan satunya lagi
laki-laki seperti perempuan. Aku pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar