Sabtu, 29 Desember 2012

CERPEN : CERITA SAMPAH



Sampah, apa dia?. Aku adalah dirinya, sebuah sampah. Berikut ini cerita perjalananku.
Terminal Bayualun masih sepi, ya ini masih subuh. Belum banyak orang yang berkumpul disini. Tapi beberapa warung rupanya sudah buka, entahlah apa mereka juga buka 24 jam sehari seperti minimarket modern itu. Sebuah warung menyalakan televisi, tampaklah gambar pemain-pemain sepak bola berlari kesana kemari menggiring bola. Orang-orang di depan televisi itu tak begitu semangat memperhatikan. Itu pertandingan biasa, bukan antar klub-klub ternama.
Di samping warung itu ada sekelompok pemuda. Bajunya gelap-gelap, senada dengan kulit mereka yang juga gelap. Beberapa alat musik buatan sendiri tergeletak di antara mereka. Beberapa waktu lalu mereka bernyanyi-nyanyi lagu gaul berbahasa daerah dengan penuh semangat, sekarang mereka sudah capek. Beberapa dari mereka malah terkantuk-kantuk.

Seorang pedagang makanan kecil terduduk di bangku terminal. Kepalanya disandarkan ke tembok kotor di sebelahnya. Dirapikan dagangannya. Ada minuman ringan, kerupuk ikan, tissue, kacang kapri, dan beberapa makanan ringan lainnya. Dia baru datang sejam yang lalu. Bis memang tak berhenti beroperasi di malam hari, sehingga jam kerja pedagang sepertinya bisa sepanjang siang dan malam.
Jam 3 pagi, pedagang itu menaiki sebuah bis. Orang-orang di dalam bis itu banyak yang memejamkan mata. Entah benar-benar tidur atau hanya berusaha tidur. Pedagang itu mulai mempromosikan dagangannya. Kalimat-kalimat yang dia hafal di luar kepala karena sudah diucapkannya ribuan kali.
Seorang anak muda membeli sebuah minuman ringan, botolnya berwarna biru, harganya 5ribu rupiah. Dia membayar dengan uang 5ribu lusuh, kembalian dari kondektur bis. Minuman itu ia minum sedikit, ia tutup kembali dan dia taruh di tas ransel bagian luar, ada tempat khusus untuk menaruh botol minuman.
Bis lalu melaju dengan cepat, beberapa orang berdiri. Beberapa dari mereka malah memilih jongkok dibawah. Udara malam yang dingin mungkin membuat tubuh mereka tak kuasa untuk berdiri dengan mata yang mengantuk.
Lama sekali bis itu berjalan, tak ada penumpang yang turun, sepertinya para penumpang baru akan turun di terminal berikutnya.
Jam 5, sudah sampai di terminal berikutnya. Semua penumpang turun. Anak muda itupun turun, berjalan ke arah penitipan motor. Ia tak sadar botol minuman birunya terjatuh menggelinding menelusuri aspal dan berhenti saat terbentur tempat sampah.
Hari itu adalah hari kelahiranku. Seorang pemulung memunggut botol biru yang masih berisi itu. Mukanya sumringah melihat botol biru itu masih berisi. Ia buka tutupnya dengan tangan kotornya, dihirup baunya, masih baru.. Seteguk, dua teguk, tiga teguk, sampai tegukan terakhir. Akhirnya aku lahir juga, sampah botol biru. Aku dan tutupku pun dilemparkannya ke sebuah karung. Banyak sampah botol dan gelas plastik disana. Hmmm…mereka jelek, kotor. Kataku dalam hati. Mereka terdiam, seperti tertidur semua dalam karung itu.
Saat itu karung goni itu mulai bergoyang-goyang di punggung belakang sang pemulung. Aku mulai mabok, hari pertama menjadi sampah itu membuatku mual.
Kota itu mulai terang, seperti ada lampu yang tadinya redup sekarang menyala kembali. Udara masih dingin, sang pemulung menghentikan langkahnya di sebuah tempat sampah besar di depan sebuah masjid. Dia mengorek-orek sampah-sampah disana. Mencari plastik yang ia cari. Akhirnya bertemu juga dengan sebuah gelas plastik, ia memungut dan melemparkannya ke dalam karung goni.
“Aduh…,” kepalaku dijatuhi sebuah benda. Aku menatapnya dengan sinis. Siapa dia?
Gelas plastik itu terlihat peyok di badannya. Ugh…kasian sekali.
Dia melihatku dalam keadaan lemas, dan kemudian gelas plastic itupun pingsan.
Badanku terasa hangat, ada cahaya yang masuk dari balik karung goni. Itu sinar matahari, sang pemulung sedang duduk-duduk di trotoar. Jalanan kota lumayan ramai. Pemulung itu menemukan puntung rokok yang masih bisa dipakai. Dibersihkan punting rokok lusuh itu dengan tangannya yang tak kalah lusuh. Dikeluarkan korek api jress dari kantong saku celana. Jress..api menyala dan menyulut puntung rokok itu.
Aduh..panas sekali bokongku, sinar matari semakin terik masuk melalui celah-celah karung goni. Aku mencoba memejamkan mata tapi tak bisa. Ada apa dengan botol-botol lain, mengapa mereka bisa tertidur sepulas itu.
Tiba-tiba karung goni bergoyang lagi aku terperosok ke bawah karung goni, tertimpa botol dan plastic-plastik lagi. Aku berkunang-kunang dan pingsan.
Langkah kaki sang pemulung belum lelah. Sejak subuh sampai sekarang. Dengan alas kaki sepasang sandal jepit ia dengan gagah berani menyeleksi sampah-sampah yang ia lewati. Dia sudah hafal jalanan yang ia lewati. Sebenarnya baru tiga bulan dia datang di kota ini. Datang dari desa karena dijanjikan pekerjaan oleh temannya. Umurnya belum genap 30 tahun, anak istripun belum punya. Tapi nasibnya tak beruntung, pekerjaan yang temannya tawarkan malah membuatnya bermasalah dan entah bagaimana akhirnya dia menjadi pemulung seperti ini.
Siang datang, sudah banyak benda plastic di karung goninya. Kakinya melangkah ke gang-gang sempit. Dari gang sempit kakinya memilih rel kereta api untuk melangkah. Rel yang usang, berpuluh tahun lalu dipasang dan sampai sekarang tak sempat diganti.
Sang pemulung tenang-tenang saja berjalan di rel, tak ada rasa takut ada kereta yang tiba-tiba lewat. Sudah terbiasa. Stasiun Kereta Api terlihat, suara-suara rauangan kereta memekakkan telinga.
Aku terbangun, dengan kepala pusing. Aku sudah tak tahan lagi di karung goni ini. Kapan perjalanan ini berakhir. Sang botol biru tiada henti mengeluh dalam lubang botol.
Aku mencium bau enak, sedap. Hmm ternyata sang pemulung makan pisang goreng di stasiun. Sedari pagi perutnya belum terisi apapun.
Brukk…karung goni tersenggol sebuah troli barang.
“Maaf mas…,” kata orang yang mendorongnya. Sang pemulung cuma menoleh sekilas. Tak peduli.
Jantung botolku berdetak kencang. Sebuah botol plastik bening tampak meregang nyawa setelah sesuatu  melindasnya.
Karung goni kembali terayun-ayun. Aku tak bisa memejamkan mataku.
Sang pemulung berjalan ke sebuah tempat. Penuh dengan tumpukan sampah. Baunya tak bisa ditolerir lagi. Tumpukan sampah tak berbentuk itu dikais-kais oleh beberapa pemulung.
Pruk..pruk.. beberapa benda baru masuk ke dalam karung goni. Ugh.. bau sekali, ya ampun sang botol biru mencoba menutup hidungnya yang tak berlubang.
Karung goni semakin banyak penghuninya. Sumuk, aku semakin pusing dan hampir pingsan lagi.
Tiba-tiba udara menjadi lapang. Aku menghirup dengan senang. Tubuh botolku terpontang-panting keluar dari karung goni. Terjatuh di tanah. Aduh.
Sang pemulung memisah-misahkan botol plastik bening dan botol-botol berwarna. Ada seseorang didepannya. Membawa uang-uang lusuh dan sesekali menjilatnya. Aneh.
Aku dikumpulkan bersama botol-botol lain yang sejenis. Berdiam disana beberapa jam, tak tersentuh. Ah nyaman disini, pikirku. Malam datang membawa hawa dingin.
“Saya beli botol-botol biru seperti biasa pak…,” seseorang datang. Memakai kaos hitam. Wajahnya tak jelas, yang pasti ada jenggot di dagunya. Tak begitu lebat. Dikeluarkannya beberapa uang kertas.
Tubuhku diangkat lalu terlempar ke plastic kresek hitam. Gelap. Banyak sejenisku juga disana. Botol-botol biru. Kami mulai terayun-ayun lagi.
Udara malam itu terasa seperti jarum-jarum pentul yang menusuk. Sepeda motor melaju kencang. Orang berjenggot tadi yang mengendarainya. Kresek hitam tadi ia taruh diantara sadel dan setir sepeda.
Ia belok kesebuah gang, memelankan laju motornya. Berhenti di sebuah rumah. Rumahnya unik. Banyak benda-benda kerajinan disana. Lampion-lampion biru tergantung di teras rumah.
Bruk..aduh, kesekian kalinya manusia itu membantingku. Satu-persatu botol-botol biru dikeluarkan, diletakkan di lantai keramik. Termasuk aku.
Orang berjenggot itu lalu masuk ke dalam rumahnya. Lama kami ditinggal, akupun tertidur dalam keadaan berdiri.
Saat membuka mata, silau. Badanku rasanya demam. Surya bertengger di dahan pohon mangga. Sudah lumayan siang. Aku terkejut dengan kejadian didepanku, lalu pingsan.
 Orang berjenggot itu memotong-motong botol berwarna biru dengan berbagai ukuran. Gunting yang ia pakai cukup kuat dan tajam sehingga sekali tekan langsung terbabat dinding-dingding benda silinder itu. Namanya, Supriyadi, seorang perajin lampion. Selain membuat lampion biasa, dia juga memanfaatkan botol-botol bekas untuk bahan pembuatan lampionnya.
Badanku terangkat. Ah dan akupun melihat sesosok manusia kecil mengangkatku. Seorang anak kecil. Oh ternyata aku tak terpotong!!
Anak itu menemui temannya. Dia perempuan dan temannya laki-laki.
“Ini mas, botolnya…,” anak perempuan itu menunjukkan diriku ke temannya itu.
“Loh..aku kan minta botol kacaa, botol beling…ini kan plastik,” anak laki-laki itu cerewet juga. Mulutnya monyong-monyong tanda protes.
“Di rumahku adanya botol ini, Bapak tidak punya botol beling..,” kata anak perempuan itu dengan tegas.
Mereka lalu membuka tutupku. Memasukkan kertas-kertas ke dalamnya. Aww…geli.
Setelah itu aku melihat lubang di tanah. Mereka melemparkanku ke dalamnya. Tanah-tanah menutupiku sampai gelap, tak bisa melihat apa-apa. Aku pingsan, untuk kesekian kalinya.
Satu tahun kemudian. Masih gelap.
Lima tahun kemudian. Masih gelap.
Sepuluh tahun kemudian.
Aww..aku terbangun dari pingsan panjangku. Sebuah benda dari besi menekan tubuhku.
“Ah…masih ada,” seseorang bersuara.

Aku membuka mata. Melihat dunia kembali. Ada dua manusia disana, dua orang anak kecil yang dulu. Yang satu perempuan seperti laki-laki, dan satunya lagi laki-laki seperti perempuan. Aku pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...