RANGGA
Orang-orang di sekitarnya mengatakan ia laki-laki yang
misterius. Mereka bertanya mengapa kau begini, mengapa kau begitu. Keras
kepala, itu membuat alasan yang harusnya diungkapkan menjadi hal yang kabur, tak
dimengerti orang lain. Kemudian ia memilih lebih banyak diam saat ditanya
pertanyaan yang jawabannya akan membuat orang lain meneruskan pertanyaannya.
New York, bulan kesebelas, tanggal 8, dini hari.
Rangga masih terbangun. Banyak barang-barang vintage di kamarnya tapi ia bekerja
dengan Mac Mini bukan mesin ketik. Ia memeriksa beberapa hasil jepretannya dan
mengelompokkannya dalam folder-folder terpisah. Itu pekerjaan yang tak berat
dilakukan di dini hari, tak membutuhkan kuota berpikir yang banyak.
Tubuhnya sekarang sedikit berisi dibandingkan saat remaja,
semakin kokoh sebagai seorang laki-laki. Tapi beberapa orang masih
menganggapnya sedikit aneh karena terlalu sering menyendiri. Beberapa kali
laki-laki dan perempuan mendekatinya, mengajak berkencan, dan ia selalu menolak
dengan halus.
“Aku harap kau mendapatkan
laki-laki yang menyukaimu, maaf.”
“Maaf, aku sibuk akhir minggu
ini.”
“Maaf, aku masih menyukai
perempuan.”
Minggu lalu, saat November baru dimulai, ada yang berubah.
Ia akhirnya berkencan dengan seorang wanita Indonesia yang lama tinggal di New
York. Mereka bertemu saat ada acara pembukaan sebuah restoran milik bos
perusahaan tempat Rangga bekerja. Namanya Renata, cantik, pintar, dan dewasa.
Hal yang Rangga suka darinya bukan hanya visualisasinya, tapi nuansa yang ia
bawa. Itu nuansa yang berbeda.
Cinta tak seperti Renata, Renata
tak seperti Cinta. Cinta membawa kehangatan, Renata…ia membawa nuansa.
Rangga sedikit terkejut saat ia merasakan getaran lagi
pada seorang wanita. Tapi ia juga sedikit takut, ia takut melupakan Cinta. Meskipun
tak bersama tapi ia menyukai perasaan itu. Ia suka rasa rindu dan cinta pada
seseorang yang jauh. Rasa yang ia simpan dalam-dalam. Rasa cinta pada Cinta.
Jika ia menyukai Renata, lalu mencintainya, bagaimana
dengan Cinta? Rangga masih tak ingin perasaan itu pergi. Itu perasaan purba
yang senang ia pelihara.
"Kau menyukai sastra?" tanya Renata. Gadis itu
berucap tanpa ekspresi saat menyentuh buku berjudul "Aku" di meja
kamar Rangga.
"Ya, kau sendiri?"
"Aku tak begitu tahu sastra Indonesia, aku lebih
kenal penulis Amerika,... Ernest Hemingway, Toni Morrison..."
“Hmm…” Rangga tak tertarik dengan sastra Amerika, tapi ia
tahu nama-nama populer yang Renata sebutkan itu.
Renata melemparkan buku “Aku” di atas kasur. “Aku akan
mencoba membacanya…”
Suaranya masih datar seperti biasa, tapi itu yang Rangga
suka.
“Ya, bacalah..itu bagus,” kata Rangga. Sebenarnya perasaannya
sedikit berat saat melihat buku itu terbaring di samping Renata.
Renata mengenakan sejenis lingerie. Berwarna putih dan tampak halus sekali. Kakinya kadang
terangkat dan kadang turun saat membolak-balik halaman buku. Renata tak begitu
paham isinya, itu pasti karena Bahasa Indonesia-nya yang tidak begitu baik dan
tentunya akan menjadi sulit memahami makna gandanya dalam sastra. Beberapa kali
ia membacanya dengan keras dan bertanya pada Rangga.
Rangga akhirnya menghentikan pekerjaannya. Lampu utama ia
nyalakan, ia tak suka melihat wanita dalam gelap.
“Kau sebaiknya tak membacanya..”
Ia mengambil buku “Aku” dan melemparkannya ke meja.
Mengganti posisi buku itu dengan tubuhnya sendiri.
CINTA
Suara petir dari luar terdengar pelan saja. Cinta sedikit
meringis saat laki-laki di depannya bermain dengan telapak kakinya.
"Ini masih siang.."
“Tapi langit sedang gelap dan ini hari libur,” jawabnya.
Cinta sebenarnya sedikit risih kalau suaminya itu mulai
bertingkah. Ia suka menciumi kaki Cinta, bagi suaminya itu menggairahkan tapi
bagi Cinta itu menjijikkan. Ia masih merasa asing dengan laki-laki di depannya,
walaupun sudah kenal sepuluh tahun.
"Hmm..aku mau ke kamar mandi dulu," kata Cinta.
Suaminya itu melepaskan kaki Cinta yang sedari tadi ia permainkan, tersenyum
dan kemudian berbaring di tempat tidur.
Di kamar mandi suara hujan terdengar jelas sekali. Ini
hujan ke tiga di bulan ini, hujan yang deras. Cinta membasuh mukanya, juga kakinya. Ia melihat bibir
basahnya di cermin, bibir yang hanya pernah dicium oleh dua orang saja.
Suaminya adalah penyelamat hidupnya. Setelah ditinggalkan
oleh Rangga, hidupnya menjadi suram, seperti tanpa tujuan. Hari-harinya
dilewati dengan memandangi telepon dan kotak pos, tak ada pesan dan ada
panggilan baru. Sebulan, dua bulan, setengah tahun, setahun, ia menjadi Cinta
yang berbeda. Jarang tersenyum dan hanya fokus pada pendidikan saja. Ia tak mau
berkumpul dengan teman-teman SMA-nya, itu akan mengingatkannya pada Rangga.
Di tahun kedua, ia bertemu dengan laki-laki yang sekarang
menjadi suaminya. Wajahnya jauh berbeda dari Rangga, ia lebih tua lima tahun
dari Cinta. Bersama laki-laki itu, Cinta berusaha melupakan Rangga, mencoba
mencintai sosok yang berbeda. Rambutnya tak ikal, kulitnya sedikit gelap, alis
matanya jauh lebih tegas, yang sedikit sama mungkin tinggi mereka.
“Kau tak suka sastra?” tanya Cinta waktu itu.
“Lihatlah apa buku yang selalu aku bawa.. aku tak membaca
buku jenis lain..”
Cinta senang dia tak suka sastra, tak perlu berbagi buku puisi
dengannya. Suami Cinta orang teknik, ia ikut dalam proyek pembangunan
pembangkit listrik di Jawa. Buku-buku yang ia baca adalah buku teknik,
manajemen proyek, dan buku teori fisika, sesekali ia membaca biografi. Cinta
akhirnya menaruh buku-buku sastranya di bagian bawah lemari, tempat yang tak
disentuh suaminya.
“Sayang, keluarlah..”
“Ya, sebentar.”
Cinta keluar dari kamar mandi dengan senyuman. Wajahnya
kembali segar, kembali bersemangat. Air di wajah dan kakinya belum ia keringkan.
“Sayang, aku ingin membaca puisi untukmu,” kata Cinta.
“Puisi?”
*Buat fans AADC, wenny, dan @kampusfiksi
cr. Dian Sastro Instagram |
" Look who I bumped into tonite at hari ini bener bener banget judulnya️ jadi kita selfie aja buat temen temen yang masih susah move on dari kegalauan hari ini.. Have a good night instagramers.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar