Hoam…
matanya sudah tak kuat lagi. Ngantuk!, ya sebagai seorang pelajar acara
mengantuk di kelas memang menjadi hal yang rutin dilakukan. Sama halnya dengan
Rama. Pelajaran Biologi tentang perkembangan makhluk hidup menjadi hal yang
membosankan. Sebenarnya Rama suka sekali belajar tapi tidak untuk siang ini.
Matanya sudah merah karena dipaksa untuk terbuka.
Rama
beranjak dari kursi paling belakang. Berjalan lunglai ke Pak Wito.
“Pak
saya ijin ke belakang..”
Rama
berjalan dengan mata mengantuk. Kamar kecil di capainya dengan buru-buru. Selain
buang air kecil dia juga ingin cuci muka.
“What the…” kata Rama dalam hati.
Di
dekat kamar mandi ada dua orang adik kelasnya. Berpegangan tangan dan
berbisik-bisik.
“Astajim…”
Rama berkata sambil buru-buru masuk ke kamar kecil.
Air
kran di kamar kecil itu mengalir tak semestinya. Arahnya tak kebawah lagi, tapi
ke samping. Setelah buang air dan cuci muka Rama segera ke kelasnya.
Saat
istirahat Rama memilih pergi ke ruang Pramuka. Dia tidur disana. Rama adalah
ketua Pramuka di sekolahnya, jadi dia yang memegang kunci ruangan itu.
Ada
kursi panjang yang bisa dibuat tiduran di ruang itu. Ada juga meja kayu dan
beberapa kursi yang biasanya digunakan untuk rapat. Beberapa peralatan untuk
Pramuka juga ada di sana. Tongkat, tenda, pisau kecil, dan beberapa peralatan
lain di taruh di dalam lemari.
“Ehem…Bapak
ketua..,” suara seseorang terdengar sayup di telinga Rama.
Rama
membuka mata, ada seorang gadis berkerudung di depannya. Rama bangkit dari
kursi panjang itu dan menggeliat.
“Bapak
Ketua tidak masuk kelas, bel masuk sudah bunyi dari tadi…,” kata Rani.
Rama
merapikan rambutnya, berjalan sambil berlari ke arah kelasnya. Beruntung tadi
ada Rani yang lewat ruang pramuka dan membangunkan dia.
Siang
itu Rama makan siang di kelas. Dia membawa bekal dari rumah. Sebuah nasi
bungkus ia keluarkan. Ibunya memasakkan oseng-oseng kacang panjang, mie goreng,
dan ayam goreng. Ya, enak sekali, Rama memakan dengan lahap.
“Kamu
tidak pulang Ram?” tanya Hendra, teman sekelasnya.
“Nanti
ada pramuka, ada latihan tambahan buat lomba,” kata Rama sambil meneruskan
makan.
“Ya,
good luck de..” Hendra beranjak
pulang.
Sehabis
makan, Rama pergi ke mushola. Banyak anak di sana, ada Rani juga, sekretarisnya
di pramuka.
“Ran,
kemari…” Rama lalu mengajak Rani membahas latihan yang akan mereka adakan
nanti sore.
“Astagfirullah,
jangan pacaran di musholah…” seorang kakak kelas berkerudung panjang menegur
Rama dan Rani.
“Gak
pacaran mbak… cuma ngobrol aja…” kata Rama.
“Hehe..o
gitu…” sang mbak berkerudung itu lalu tersenyum.
Sore
itu penuh peluh. Rama berkeringat penuh memimpin acara latihan itu. Baju
pramukanya sudah tak berbentuk sempurna lagi.
Setelah
selesai latihan Rama memutuskan mandi di sekolah. Mengganti baju pramukanya
dengan kaos. Kaos putih bertuliskan nama sebuah perusahaan telekomunikasi. Kaos
itu pemberian kakaknya beberapa bulan lalu. Kakaknya bekerja di perusahaan
tersebut, beberapa bulan sekali baru bisa pulang sekedar menjenguk orang tua
dan adik-adiknya.
Rama
mengayuh sepedanya, sudah hampir maghrib. Jalanan kota tak begitu ramai, Rama
lalu mengambil jalan pintas melalui jalan-jalan kecil. Rumahnya memang lumayan
jauh dari sekolahnya. Mau naik angkot juga susah, rumahnya masuk ke dalam.
Harus jalan kaki terlebih dahulu untuk menjangkau jalan yang dilalui angkot.
Sawah-sawah
menyambut kehadiran Rama. Sepeda yang dikayuhnya mulai kelelahan, apalagi Rama
yang menggerakkannya.
Seorang
anak kecil berlari ke arah Rama.
“Kakak
datang..kakak datang,” kata anak kecil itu.
Rama
turun dari sepeda. Menghela nafas.
Rama
menuntun sepedanya, merapat ke dinding rumahnya. Badannya yang penuh keringat
itu menjadi tak bertenaga saat sampai di rumah.
"Endong..endong...”
anak kecil itu merengek di depan Rama. Rama tersenyum lalu mengangkat anak itu
dengan sedikit malas.
Di
dalam rumah banyak kotak-kotak makanan. Ibu Rama membuka katering makanan sejak
ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. Ibu Rama memang pandai memasak, mungkin
turunan nenek Rama mempunyai warung di terminal. Sekarang warung itu dikelola
oleh bulik Ike. Dulu ayah dan ibu Rama bertemu lewat warung itu. Ayah Rama
adalah sopir bus yang sering makan di warung nenek Rama.
Rama
duduk di sela-sela kotak-kotak nasi. Ia membuka ikat tali sepatunya, kaos kaki
bau, lalu menaruhnya di tempat sepatu yang sudah penuh debu.
"Ram,
sehabis maghrib kamu bantu antarkan kotak-kotak nasi inj ke desa sebelah.
Pinjam saja becaknya Paklek,” sang ibu berkata-kata sambil terus menata-nata
makanan di dalam kotak nasi.
Rama
merebahkan tubuh di kasur kerasnya. Badannya pegal-pegal seperti habis tempur
di medan perang. Sejenak saja ia ingin beristirahat, sejenak saja ia ingin
tidur. Jam dinding di kamarnya sedang tak bersahabat. Jalannya tiba-tiba cepat
sekali, jarum panjang jam di kamar Rama tiba-tiba sudah mendekat ke angka 12.
Sebentar lagi pasti sudah adzan maghrib.
Suara
tapak kaki dan lengkingan khas anak kecil menambah riuhnya senja itu. Sinta dan
Bima berlarian kesana-kemari. Mereka adik Rama, Sinta adik yang lebih tua masih
kelas 3 SD, sedangkan Bima masih belum sekolah.
Rama mengayuh becak perlahan.
Kotak-kotak nasi itu tentu tak boleh sampai tumpah ke jalanan. Jalanan desanya
cukup terang, berbeda dengan saat ayahnya masih ada. Belum ada penerangan yang
memadai kala itu. Rama ingat saat itu ayahnya membonceng Rama naik sepeda ontel
ke rumah temannya di kampung sebelah. Karena gelap, eh sepeda ayahnya itu
terantuk batu dan mereka berdua tersungkur di jalanan yang becek.
Rama tak tau jam berapa waktu itu,
sehabis mengantarkan kotak-kotak nasi itu ia langsung pulang. Rumah kecilnya
terlihat tak begitu terawat. Sudah beberapa tahun belum di cat baru lagi, pagar
rumahnya juga sudah reyot. Kayu pagarnya sudah berwarna hitam seperti membusuk
kena hujan dan panas bertahun-tahun. Rama tak sempat membenahi rumahnya itu.
Berdiam di rumah sebenarnya juga tak nyaman baginya, dia lebih suka pergi ke
sekolah, aktif di pramuka, beladiri, ya kegiatan di luar rumah. Rumah itu
tempat bertemu dengan keluarganya, dan tempat sejenak membaringkan badannya,
sejenak saja.
Rama memandangi adik perempuannya dengan
kecut. Malam ini dia ada PR lagi, sungguh terlalu. Padahal Rama juga ada PR,
tapi dia harus mengajari adik kecilnya itu terlebih dahulu. Ibunya sibuk
menggendong Bima sambil mengobrol dengan ibu-ibu tetangga di luar.
Tidur. Akhirnya malam itu Rama bisa
tertidur juga malam itu. Buku LKS Biologi masih terbuka, berbaring mesra
dengannya. Masih banyak tempat jawaban yang kosong si halaman LKS yang terbuka
itu. Rama sudah tak sanggup mengisinya, entah karena tak tau jawabannya atau
karena mengantuk luar biasa. Malam itu kamarnya diremangkan seperti biasa.
Setelah melihat Rama tertidur, sang ibu mematikan lampu utamanya, lalu dia
nyalakan lampu kecil.
Dengan mata merah Rama sarapan.
Piringnya berisi nasi, sayur bayam, ikan panggang, dan seonggok sambel terasi
yang nikmat. Sayang Rama tak bisa menikmatinya lama-lama ia harus buru-buru
pergi ke sekolah karena jam dinding juga berjalan cepat pagi itu.
Sebelum pergi ke sekolah Rama harus
menjemur pakaian-pakaian yang telah ibunya cuci subuh tadi. Ada tempat jemuran
di depan rumah Rama, dari kawat-kawat yang dibentangkan dengan cagak dari kayu.
Rama buru-buru menjemurnya, tak serius ia memeras jemuran-jemuran itu. Saat ia
beranjak dari jemuran, maka muncullah suara tetesan-tetesan air jemuran ke
tanah. Rama buru-buru menaiki sepedanya, tak lupa berteriak ke ibunya bahwa dia
berangkat ke sekolah.
Sepeda berjalan menjauh dari rumahnya.
Huff..akhirnya menjauh juga dari teriakan adik-adiknya, begitu pikiran Rama.
Sekolah, adalah rumah keduanya. Senang
sekali Rama di sekolah, apalagi dia adalah orang yang cukup disegani oleh
teman-temannya karena dia ketua pramuka.
“Minggu depan kalian libur..satu
minggu..” kata Pak Wito.
“Jangan main-main saja, belajar yang
rajin di rumah,” lanjut sang guru sambil membereskan buku-buku di mejanya.
Sorak-sorai membahana di kelas itu,
mereka senang bisa libur dari rutinitas belajar di kelas. Hal yang merupakan
kewajiban namun kadang membosankan dan membebani mereka. Rama menerawang,
matanya kearah jendela. Ada dedaunan yang menari-nari diiringin angin
sepoi-sepoi. Rama sedang berpikir, akan kemana ia liburan kali ini.
Ia ingat liburan tahun lalu, saat
seharian ia di rumah ada saja yang harus ia kerjakan. Memandikan adik-adiknya,
menemani mereka bermain, beres-beres rumah, membantu ibunya memasak dan
lain-lain. Rama bukan tak ingin tak berbakti, tapi hatinya memang tak kesana.
Hatinya ingin melakukan hal lain, bukan di rumah.
Hari itu hari pertama liburan sekolah.
Rama menggendong Bima ke lapangan, ada pertunjukan topeng monyet di sana. Tak
disangka sang monyet menghampiri Bima, Bima menangis ketakutan. Huff...Rama
membawa Bima pulang, sang ibu malah memarahinya karena dianggap tak bisa
menjaga sang adik.
Hari itu hari kedua liburan sekolah.
Rama berencana mengecat dinding rumahnya. Tabungannya ia bongkar untuk membeli
cat tembok dan kuas cat. Setidaknya rumah sedikit rapi, mungkin aku akan betah,
pikirnya. Suasana siang itu lumayan panas, Rama hanya memakai kaos singlet.
Hati-hati Rama mengecat dinding di teras rumahnya. Sampai tiba-tiba “prang”...,
cat satu kaleng tumpah. Abdel, teman Bima menabraknya. Bima bercanda dengan
temannya itu sampai mereka berkejar-kejaran dan tumpahlah cat itu. Rama
benar-benar marah, benar-benar marah.
Hari itu hari ketiga liburan sekolah.
“Kamu mau kemana? Kan sekolah libur,
bantu ibu memasak, ada yang pesan makanan nanti sore..” kata sang ibu melihat
Rama sepagi itu sudah rapi, memakai kaos pramuka.
“Aku ada kegiatan pramuka, mungkin
pulang habis dhuhur..” Rama berucap.
Sepeda mulai ia kayuh. Sungguh tak enak
rasanya berbohong, tak enak. Rasanya ada hantu yang terus bergelayut dan suatu
saat akan menerkamnya. Rama benar mengayuhkan laju sepedanya ke sekolah. Ya,
benar ke sekolah.
Di sekolah, suasananya sepi. Tapi pintu
gerbang terbuka.
Rama tersenyum dia berputar-putar dengan
sepedanya di halaman sekolah. Di sebuah ruang kelas ada beberapa orang siswa
yang tampak belajar bersama. Rama menghampiri mereka.
“Ram, ngapain ke sekolah?” Hendra
menyapa Rama.
“Kamu sendiri?” Tanya Rama.
“Aku dipilih ikut lomba Koperasi, ini
lagi belajar bareng sama Bu Anis,” kata Hendra.
“O..aku aku kesini cuma main-main, bosan
di rumah...”
“Eh..Ram, ayo masuk kesini..” Bu Anis
menyuruh Rama masuk ke kelas.
Siang itu, Rama duduk di kelas seperti
bukan hari libur. Bu Anis menerangkan mereka semua tentang materi lomba
koperasi. Walau Rama tidak ikut lomba, setidaknya menambah ilmu.
Rama beruntung, selain dapat ilmu ia
juga bisa makan siang bersama anak-anak pandai itu. Bu Anis yang membawakan
mereka makanan.
Setelah sholat dhuhur di masjid, Rama
melajukan sepedanya pulang. Hmm..pulang ke rumah itu lagi, katanya dalam hati.
Rama mengayuh dengan pelan-pelan,
seperti tak rela mau pulang ke rumah lagi. Beberapa kali Rama menghentikan
sepedanya. Sekali berhenti karena melihat ada kecelakaan di jalan raya. Sekali
lainnya karena ia membeli es jus di dekat pasar. Sekali lainnya saat ia asyik
melihat anak-anak sekolah bola sedang latihan bola.
Akhirnya ia harus juga melihat muka
rumahnya. Dengan cat yang belum selesai, genteng-genteng berlumut, dan pagar
yang betul-betul seperti membusuk Ugh..
“Assalamualaikum..”
Rama menaruh sepeda di teras rumah.
Sepi, sepertinya ada di dalam semua.
Rama masuk ke dalam, terlihat
adik-adiknya memegang beberapa mainan baru, ibunya juga memakai daster baru.
“Hah.. dari siapa ini semua?” tanya
Rama.
“Kakakmu tadi mampir kesini, tapi
sebentar. Dia bersama orang kantornya mau ke kota sebelah,” kata sang ibu.
“Wah kok tidak bilang mau kemari...”
kata Rama.
“Ini untukmu...” sang ibu memberikan
amplop berwarna putih.
Rama masuk ke dalam kamar, mengganti
kaosnya yang basah.
Dibukanya amplop itu, ada uang seratus
ribuan lima buah. Ada kertas bertulis juga.
“Rama, ini uang untukmu, pergunakan
baik-baik. Jaga adik, ibu, dan rumah peninggalan ayah ini. Kakak sebentar lagi
ditugaskan ke luar pulau.”
Rama, termenung. Ahh seandainya tadi dia
diam di rumah. Seandainya dia tadi bisa bertemu sejenak saja dengan kakaknya.
Seandainya dia tadi bisa bertanya ini dan itu dengan kakaknya.
Besoknya, Rama memeras keringatnya dan
membontang banting tulangnya. Membenahi pagar, dan mengecat rumahnya. Rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar