Minggu, 02 Maret 2014

CERPEN: RUMAH

Hoam… matanya sudah tak kuat lagi. Ngantuk!, ya sebagai seorang pelajar acara mengantuk di kelas memang menjadi hal yang rutin dilakukan. Sama halnya dengan Rama. Pelajaran Biologi tentang perkembangan makhluk hidup menjadi hal yang membosankan. Sebenarnya Rama suka sekali belajar tapi tidak untuk siang ini. Matanya sudah merah karena dipaksa untuk terbuka.
Rama beranjak dari kursi paling belakang. Berjalan lunglai ke Pak Wito.
“Pak saya ijin ke belakang..”
Rama berjalan dengan mata mengantuk. Kamar kecil di capainya dengan buru-buru. Selain buang air kecil dia juga ingin cuci muka.
What the…” kata Rama dalam hati.
Di dekat kamar mandi ada dua orang adik kelasnya. Berpegangan tangan dan berbisik-bisik.
“Astajim…” Rama berkata sambil buru-buru masuk ke kamar kecil.
Air kran di kamar kecil itu mengalir tak semestinya. Arahnya tak kebawah lagi, tapi ke samping. Setelah buang air dan cuci muka Rama segera ke kelasnya.
Saat istirahat Rama memilih pergi ke ruang Pramuka. Dia tidur disana. Rama adalah ketua Pramuka di sekolahnya, jadi dia yang memegang kunci ruangan itu.
Ada kursi panjang yang bisa dibuat tiduran di ruang itu. Ada juga meja kayu dan beberapa kursi yang biasanya digunakan untuk rapat. Beberapa peralatan untuk Pramuka juga ada di sana. Tongkat, tenda, pisau kecil, dan beberapa peralatan lain di taruh di dalam lemari.
“Ehem…Bapak ketua..,” suara seseorang terdengar sayup di telinga Rama.
Rama membuka mata, ada seorang gadis berkerudung di depannya. Rama bangkit dari kursi panjang itu dan menggeliat.
“Apa Ran?” tanya Rama pada Rani, gadis berkerudung itu.
“Bapak Ketua tidak masuk kelas, bel masuk sudah bunyi dari tadi…,” kata Rani.
Rama merapikan rambutnya, berjalan sambil berlari ke arah kelasnya. Beruntung tadi ada Rani yang lewat ruang pramuka dan membangunkan dia.
Siang itu Rama makan siang di kelas. Dia membawa bekal dari rumah. Sebuah nasi bungkus ia keluarkan. Ibunya memasakkan oseng-oseng kacang panjang, mie goreng, dan ayam goreng. Ya, enak sekali, Rama memakan dengan lahap.
“Kamu tidak pulang Ram?” tanya Hendra, teman sekelasnya.
“Nanti ada pramuka, ada latihan tambahan buat lomba,” kata Rama sambil meneruskan makan.
“Ya, good luck de..” Hendra beranjak pulang.
Sehabis makan, Rama pergi ke mushola. Banyak anak di sana, ada Rani juga, sekretarisnya di pramuka.
“Ran, kemari…” Rama lalu mengajak Rani membahas latihan yang akan mereka adakan nanti sore.
“Astagfirullah, jangan pacaran di musholah…” seorang kakak kelas berkerudung panjang menegur Rama dan Rani.
“Gak pacaran mbak… cuma ngobrol aja…” kata Rama.
“Hehe..o gitu…” sang mbak berkerudung itu lalu tersenyum.
Sore itu penuh peluh. Rama berkeringat penuh memimpin acara latihan itu. Baju pramukanya sudah tak berbentuk sempurna lagi.
Setelah selesai latihan Rama memutuskan mandi di sekolah. Mengganti baju pramukanya dengan kaos. Kaos putih bertuliskan nama sebuah perusahaan telekomunikasi. Kaos itu pemberian kakaknya beberapa bulan lalu. Kakaknya bekerja di perusahaan tersebut, beberapa bulan sekali baru bisa pulang sekedar menjenguk orang tua dan adik-adiknya.
Rama mengayuh sepedanya, sudah hampir maghrib. Jalanan kota tak begitu ramai, Rama lalu mengambil jalan pintas melalui jalan-jalan kecil. Rumahnya memang lumayan jauh dari sekolahnya. Mau naik angkot juga susah, rumahnya masuk ke dalam. Harus jalan kaki terlebih dahulu untuk menjangkau jalan yang dilalui angkot.
Sawah-sawah menyambut kehadiran Rama. Sepeda yang dikayuhnya mulai kelelahan, apalagi Rama yang menggerakkannya.
Seorang anak kecil berlari ke arah Rama.
“Kakak datang..kakak datang,” kata anak kecil itu.
Rama turun dari sepeda. Menghela nafas.
Rama menuntun sepedanya, merapat ke dinding rumahnya. Badannya yang penuh keringat itu menjadi tak bertenaga saat sampai di rumah.
"Endong..endong...” anak kecil itu merengek di depan Rama. Rama tersenyum lalu mengangkat anak itu dengan sedikit malas.
Di dalam rumah banyak kotak-kotak makanan. Ibu Rama membuka katering makanan sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. Ibu Rama memang pandai memasak, mungkin turunan nenek Rama mempunyai warung di terminal. Sekarang warung itu dikelola oleh bulik Ike. Dulu ayah dan ibu Rama bertemu lewat warung itu. Ayah Rama adalah sopir bus yang sering makan di warung nenek Rama.
Rama duduk di sela-sela kotak-kotak nasi. Ia membuka ikat tali sepatunya, kaos kaki bau, lalu menaruhnya di tempat sepatu yang sudah penuh debu.
"Ram, sehabis maghrib kamu bantu antarkan kotak-kotak nasi inj ke desa sebelah. Pinjam saja becaknya Paklek,” sang ibu berkata-kata sambil terus menata-nata makanan di dalam kotak nasi.
Rama merebahkan tubuh di kasur kerasnya. Badannya pegal-pegal seperti habis tempur di medan perang. Sejenak saja ia ingin beristirahat, sejenak saja ia ingin tidur. Jam dinding di kamarnya sedang tak bersahabat. Jalannya tiba-tiba cepat sekali, jarum panjang jam di kamar Rama tiba-tiba sudah mendekat ke angka 12. Sebentar lagi pasti sudah adzan maghrib.
Suara tapak kaki dan lengkingan khas anak kecil menambah riuhnya senja itu. Sinta dan Bima berlarian kesana-kemari. Mereka adik Rama, Sinta adik yang lebih tua masih kelas 3 SD, sedangkan Bima masih belum sekolah.
Rama mengayuh becak perlahan. Kotak-kotak nasi itu tentu tak boleh sampai tumpah ke jalanan. Jalanan desanya cukup terang, berbeda dengan saat ayahnya masih ada. Belum ada penerangan yang memadai kala itu. Rama ingat saat itu ayahnya membonceng Rama naik sepeda ontel ke rumah temannya di kampung sebelah. Karena gelap, eh sepeda ayahnya itu terantuk batu dan mereka berdua tersungkur di jalanan yang becek.
Rama tak tau jam berapa waktu itu, sehabis mengantarkan kotak-kotak nasi itu ia langsung pulang. Rumah kecilnya terlihat tak begitu terawat. Sudah beberapa tahun belum di cat baru lagi, pagar rumahnya juga sudah reyot. Kayu pagarnya sudah berwarna hitam seperti membusuk kena hujan dan panas bertahun-tahun. Rama tak sempat membenahi rumahnya itu. Berdiam di rumah sebenarnya juga tak nyaman baginya, dia lebih suka pergi ke sekolah, aktif di pramuka, beladiri, ya kegiatan di luar rumah. Rumah itu tempat bertemu dengan keluarganya, dan tempat sejenak membaringkan badannya, sejenak saja.
Rama memandangi adik perempuannya dengan kecut. Malam ini dia ada PR lagi, sungguh terlalu. Padahal Rama juga ada PR, tapi dia harus mengajari adik kecilnya itu terlebih dahulu. Ibunya sibuk menggendong Bima sambil mengobrol dengan ibu-ibu tetangga di luar.
Tidur. Akhirnya malam itu Rama bisa tertidur juga malam itu. Buku LKS Biologi masih terbuka, berbaring mesra dengannya. Masih banyak tempat jawaban yang kosong si halaman LKS yang terbuka itu. Rama sudah tak sanggup mengisinya, entah karena tak tau jawabannya atau karena mengantuk luar biasa. Malam itu kamarnya diremangkan seperti biasa. Setelah melihat Rama tertidur, sang ibu mematikan lampu utamanya, lalu dia nyalakan lampu kecil.
Dengan mata merah Rama sarapan. Piringnya berisi nasi, sayur bayam, ikan panggang, dan seonggok sambel terasi yang nikmat. Sayang Rama tak bisa menikmatinya lama-lama ia harus buru-buru pergi ke sekolah karena jam dinding juga berjalan cepat pagi itu.
Sebelum pergi ke sekolah Rama harus menjemur pakaian-pakaian yang telah ibunya cuci subuh tadi. Ada tempat jemuran di depan rumah Rama, dari kawat-kawat yang dibentangkan dengan cagak dari kayu. Rama buru-buru menjemurnya, tak serius ia memeras jemuran-jemuran itu. Saat ia beranjak dari jemuran, maka muncullah suara tetesan-tetesan air jemuran ke tanah. Rama buru-buru menaiki sepedanya, tak lupa berteriak ke ibunya bahwa dia berangkat ke sekolah.
Sepeda berjalan menjauh dari rumahnya. Huff..akhirnya menjauh juga dari teriakan adik-adiknya, begitu pikiran Rama.
Sekolah, adalah rumah keduanya. Senang sekali Rama di sekolah, apalagi dia adalah orang yang cukup disegani oleh teman-temannya karena dia ketua pramuka.
“Minggu depan kalian libur..satu minggu..” kata Pak Wito.
“Jangan main-main saja, belajar yang rajin di rumah,” lanjut sang guru sambil membereskan buku-buku di mejanya.
Sorak-sorai membahana di kelas itu, mereka senang bisa libur dari rutinitas belajar di kelas. Hal yang merupakan kewajiban namun kadang membosankan dan membebani mereka. Rama menerawang, matanya kearah jendela. Ada dedaunan yang menari-nari diiringin angin sepoi-sepoi. Rama sedang berpikir, akan kemana ia liburan kali ini.
Ia ingat liburan tahun lalu, saat seharian ia di rumah ada saja yang harus ia kerjakan. Memandikan adik-adiknya, menemani mereka bermain, beres-beres rumah, membantu ibunya memasak dan lain-lain. Rama bukan tak ingin tak berbakti, tapi hatinya memang tak kesana. Hatinya ingin melakukan hal lain, bukan di rumah.
Hari itu hari pertama liburan sekolah. Rama menggendong Bima ke lapangan, ada pertunjukan topeng monyet di sana. Tak disangka sang monyet menghampiri Bima, Bima menangis ketakutan. Huff...Rama membawa Bima pulang, sang ibu malah memarahinya karena dianggap tak bisa menjaga sang adik.
Hari itu hari kedua liburan sekolah. Rama berencana mengecat dinding rumahnya. Tabungannya ia bongkar untuk membeli cat tembok dan kuas cat. Setidaknya rumah sedikit rapi, mungkin aku akan betah, pikirnya. Suasana siang itu lumayan panas, Rama hanya memakai kaos singlet. Hati-hati Rama mengecat dinding di teras rumahnya. Sampai tiba-tiba “prang”..., cat satu kaleng tumpah. Abdel, teman Bima menabraknya. Bima bercanda dengan temannya itu sampai mereka berkejar-kejaran dan tumpahlah cat itu. Rama benar-benar marah, benar-benar marah.
Hari itu hari ketiga liburan sekolah.
“Kamu mau kemana? Kan sekolah libur, bantu ibu memasak, ada yang pesan makanan nanti sore..” kata sang ibu melihat Rama sepagi itu sudah rapi, memakai kaos pramuka.
“Aku ada kegiatan pramuka, mungkin pulang habis dhuhur..” Rama berucap.
Sepeda mulai ia kayuh. Sungguh tak enak rasanya berbohong, tak enak. Rasanya ada hantu yang terus bergelayut dan suatu saat akan menerkamnya. Rama benar mengayuhkan laju sepedanya ke sekolah. Ya, benar ke sekolah.
Di sekolah, suasananya sepi. Tapi pintu gerbang terbuka.
Rama tersenyum dia berputar-putar dengan sepedanya di halaman sekolah. Di sebuah ruang kelas ada beberapa orang siswa yang tampak belajar bersama. Rama menghampiri mereka.
“Ram, ngapain ke sekolah?” Hendra menyapa Rama.
“Kamu sendiri?” Tanya Rama.
“Aku dipilih ikut lomba Koperasi, ini lagi belajar bareng sama Bu Anis,” kata Hendra.
“O..aku aku kesini cuma main-main, bosan di rumah...”
“Eh..Ram, ayo masuk kesini..” Bu Anis menyuruh Rama masuk ke kelas.
Siang itu, Rama duduk di kelas seperti bukan hari libur. Bu Anis menerangkan mereka semua tentang materi lomba koperasi. Walau Rama tidak ikut lomba, setidaknya menambah ilmu.
Rama beruntung, selain dapat ilmu ia juga bisa makan siang bersama anak-anak pandai itu. Bu Anis yang membawakan mereka makanan.
Setelah sholat dhuhur di masjid, Rama melajukan sepedanya pulang. Hmm..pulang ke rumah itu lagi, katanya dalam hati.
Rama mengayuh dengan pelan-pelan, seperti tak rela mau pulang ke rumah lagi. Beberapa kali Rama menghentikan sepedanya. Sekali berhenti karena melihat ada kecelakaan di jalan raya. Sekali lainnya karena ia membeli es jus di dekat pasar. Sekali lainnya saat ia asyik melihat anak-anak sekolah bola sedang latihan bola.
Akhirnya ia harus juga melihat muka rumahnya. Dengan cat yang belum selesai, genteng-genteng berlumut, dan pagar yang betul-betul seperti membusuk Ugh..
 “Assalamualaikum..” Rama menaruh sepeda di teras rumah.
Sepi, sepertinya ada di dalam semua.
Rama masuk ke dalam, terlihat adik-adiknya memegang beberapa mainan baru, ibunya juga memakai daster baru.
“Hah.. dari siapa ini semua?” tanya Rama.
“Kakakmu tadi mampir kesini, tapi sebentar. Dia bersama orang kantornya mau ke kota sebelah,” kata sang ibu.
“Wah kok tidak bilang mau kemari...” kata Rama.
“Ini untukmu...” sang ibu memberikan amplop berwarna putih.
Rama masuk ke dalam kamar, mengganti kaosnya yang basah.
Dibukanya amplop itu, ada uang seratus ribuan lima buah. Ada kertas bertulis juga.
“Rama, ini uang untukmu, pergunakan baik-baik. Jaga adik, ibu, dan rumah peninggalan ayah ini. Kakak sebentar lagi ditugaskan ke luar pulau.”
Rama, termenung. Ahh seandainya tadi dia diam di rumah. Seandainya dia tadi bisa bertemu sejenak saja dengan kakaknya. Seandainya dia tadi bisa bertanya ini dan itu dengan kakaknya.

Besoknya, Rama memeras keringatnya dan membontang banting tulangnya. Membenahi pagar, dan mengecat rumahnya. Rumahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...